Mungkinkah Memahami Konsep Trinitas?

Konsep "trinitas", yaitu Tuhan Maha Esa/Tunggal akan tetapi terdiri dari tiga anggota, namun ketiga anggota tersebut pada hakekatnya hanya satu.

Konsep ini ternyata sulit untuk dijelaskan dengan logis oleh kaum Kristen, jangankan orang awam mereka, bahkan para pendeta merekapun sulit untuk menjelaskan konsep ini. Akan tetapi konsep ini tetap terpelihara dalam kaum Kristen karena ditanamkan dalam bentuk doktrin yang harus diimani oleh setiap pengikut Kristen!!!

Sungguh tidak ada kaum yang lebih bingung dari kaum Kristen dalam menjelaskan tentang prinsip dasar aqidah mereka. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

ولهذا قال طائفة من العقلاء: إن عامة مقالات الناس يمكن تصورُها إلا مقالة النصارى، وذلك أن الذين وضعوها لم يتصوروا ما قالوا، بل تكلموا بجهل، وجمعوا في كلامهم بين النقيضين ولهذا قال بعضهم: لو اجتمع عشرة نصارى لتفرقوا عن أحدَ عشرَ قولاً. وقال آخر: لو سألت بعض النصارى وامرأته وابنه عن توحيدهم لقال الرجل قولاً، وامرأته قولاً آخر، وابنه قولاً ثالثاً 

"Karenanya sekelompok kaum intelektual berkata : Umumnya aqidah-aqidah masyarakat bisa tergambarkan maksudnya kecuali aqidahnya kaum Nashoro. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang membuat aqidah ini tidak paham apa yang mereka katakan, akan tetapi mereka berbicara tentang aqidah mereka di atas kebodohan. Mereka telah mengumpulkan dua hal yang kontradiksi dalam pernyataan aqidah mereka. Karenanya sebagian orang berkata : Jika ada 10 orang Nahsoro berkumpul (untuk menggambarkan hakekat aqidah mereka-pen) maka akan muncul 11 pendapat. Ada juga yang berkata : Kalau engkau bertanya kepada sebagian keluarga Nashoro, kau tanyakan kepada istri dan anaknya tentang hakekat tauhid mereka maka sang suami memiliki pendapat, sang istri punya pendapat lain, dan sang anak juga memiliki pendapat yang lain" (Al-Jawaab As-Shahih 2/155)

Sungguh benar pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, tidak ada seorang kristianipun yang mampu menjelaskan hakekat aqidah trinitas mereka dengan penjelasan yang masuk akal. Padahal yang namanya aqidah adalah keyakinan yang kuat, maka bagaimana mau meyakini sesuatu yang tidak masuk akal untuk dijelaskan.

Telah banyak analogi dan teori yang mereka kemukakan akan tetapi tetap saja tidak bisa merubah hakekat 3 pribadi/substansi menjadi 1 Tuhan. Bahkan sebagian mereka mengaku bahwa manusia tidak akan pernah mampu memahami konsep trinitas.

Diantara mereka ada yang berkata "Sekali lagi saya tekankan bahwa konsep Trinitas tidak pernah ada di dalam pengetahuan dan pengalaman manusia. Karena tidak pernah ada maka manusia mengalami kesulitan untuk memahami konsep Tritunggal ini" (silahkan lihat komentar di http://saksi-saksi-yehuwa.blogspot.com/2013/03/konsep-trinitas-mengapa-melampaui-akal.html).

Ada juga yang berkata "Memang pada akhirnya, Trinitas hanya dapat dipahami dalam kacamata iman, karena ini adalah suatu misteri, meskipun ada banyak hal juga yang dapat kita ketahui dalam misteri tersebut. Manusia dengan pemikiran sendiri memang tidak akan dapat mencapai pemahaman sempurna tentang misteri Trinitas, walaupun misteri itu sudah diwahyukan Allah kepada manusia" (lihat http://katolisitas.org/563/trinitas-satu-tuhan-dalam-tiga-pribadi)

Berikut ini analogi-analogi yang diutarakan oleh sebagian kaum Kristen tentang hakekat Trinitas, yang menunjukkan akan kebingungan mereka,

Pertama : Yesus dan Ruh Kudus adalah belahan jiwa Bapa

Diantara perkataan mereka ((Ketika Allah menciptakan bumi, berfirman: Jadilah! Lalu terciptalah bumi. Bumi adalah “hasil kerja” Allah, dan BUKAN bagian dari Diri Allah, atau bukan “belahan jiwa” Allah.

Pendekatannya begini: kalau Anda membuat sebuah tembikar, maka terciptalah tembikar itu yang Anda buat dari bahan “diluar” tubuh Anda, misalnya dari tanah liat dan tembikar itu merupakan “hasil kerja” Anda. Berbeda dengan, anak (maaf) yang dihasilkan sebuah perkawinan, maka bayi yang dilahirkan adalah “belahan jiwa” atau “belahan sel” pasangan manusia yang menikah (suami-isteri).

Ada perbedaan mencolok antara bayi yang “dikeluarkan” oleh seorang ibu dengan tembikar hasil kreasi Anda. Roh Kudus dan juga Yesus bukanlah ciptaan Allah, tetapi “BELAHAN JIWA” Allah sendiri. Oleh karena itu, “tabiat” dan “karakter” Yesus dan Roh Kudus, keduanya identik “karakter” BAPA sebagai sumber Mereka.

Itulah sebabnya tidak aneh, ketika Yesus bersabda, bermakna: “Apa yang Ku katakan kepadamu bukan berasal dari Diri-Ku sendiri, melainkan Apa yang Kudengar dari Bapa, itulah yang Kusampaikan kepadamu”.

Jadi,… Bapa, Yesus dan Roh Kudus bukanlah tiga allah yang berasal dari tiga galaksi antah berantah yang kebetulan bertemu, salaman, lalu merasa mempunyai satu visi, kemudian bergabung manjadi satu (polytheisme) melainkan SATU ALLAH yang “membelah diri” menjadi tiga bagian besar: Yesus, Roh Kudus dan Bapa sendiri sebagai bagian TERBESAR, baik dalam hal KUASA, OTORITAS (hak untuk memerintah yang didukung kemampuan sempurna) maupun “Volume” (jika memang ukuran volume Roh dianggap ada)…. Roh Kudus bukan malaikat, walupun keduanya sama-sama Roh dan roh.

Roh Kudus adalah Pencipta, sedangkan malaikat adalah makhluk ciptaan. Ketika Yesus baru saja dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, maka Roh Kudus membawa Yesus ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Kemudian Yesus berhasil menang melawan pencobaan Iblis, lalu berdatanganlah malaikat-malaikat Tuhan melayani Yesus)) (silahkan lihat : http://thebelovedson.blogspot.com/2011/07/penjelasan-konsep-trinitas-secara.html)

Saya rasa ini adalah analogi yang terburuk dan akan sangat ditolak oleh kaum Kristen. Karena analogi ini sangat jelas dan vulgar menunjukkan bahwa tuhan ada tiga, bahkan ibarat anak yang merupakan belahan jiwa ibu dan ayahnya, atau Hawa yang merupakan belahan jiwa Adam. Tentunya jika seorang ibu melahirkan satu orang anak maka jadilah mereka menjadi dua manusia yang saling berbeda.

Kedua : Allah Yang Maha Esa terdiri dari 3 pribadi yang berbeda 

Diantara perkataan mereka ((Kata "Trinitas" adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan ajaran Kristen bahwa Tuhan adalah satu kesatuan dari tiga pribadi yang berbeda yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Setiap pribadi tersebut berbeda dari yang lain, namun pada dasarnya identik. Dengan kata lain, masing-masing pribadi sepenuhnya ilahi, tetapi masing-masing bukanlah totalitas dari masing-masing pribadi dalam Trinitas. Bapa bukanlah pribadi yang sama dengan Putra dan juga bukan pribadi yang sama seperti Roh Kudus. Dalam peristiwa pembaptisan Yesus, ketiga pribadi yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus menunjukkan keberadaannya yang terpisah satu dengan yang lain. Namun setiap pribadi ilahi tersebut bukanlah tiga Allah, melainkan satu Allah…)) 

((kita melihat bahwa Bapa telah mengutus Anak, tapi ini tidak berarti bahwa Anak tidak sama dengan Bapa dalam esensi dan sifat keilahiannya. Anak adalah sama dengan Bapa dalam keilahian-Nya, tetapi dalam beberapa saat berada lebih rendah dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia...)) 

((Oleh karena itu, fakta bahwa Anak diutus oleh Bapa, tidak berarti bahwa Dia tidak ilahi lagi. Sama seperti ketika anda menyuruh anak anda untuk membeli roti, bukan berarti anak anda bukanlah manusia seperti anda. Dalam penjelasan diatas memang kita melihat hal lain yang penting tentang Tritunggal yaitu bahwa hal itu bukanlah konsep yang mudah untuk dipahami. Tapi hal tersebut tidak menjadikan keraguan dari kebenaran konsep tersebut)) (silahkan lihat https://www.facebook.com/christian.answers.ind/posts/382582578496527)

Demikan juga diantara perkataan mereka ((Dengan prinsip yang sama, maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi: ada tiga ‘Aku’, yaitu Bapa. Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga “kejadian”/ ‘instances‘ kodrat manusia; sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut. Dengan demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan timbal balik antara ketiganya)) (lihat http://katolisitas.org/563/trinitas-satu-tuhan-dalam-tiga-pribadi) 

 Analogi ini pun gagal untuk menjelaskan konsep trinitas yang logis. Karena dalam analogi ini adanya pengakuan bahwa yesus berbeda dengan Bapa, dan Ruhul Kudus juga berbeda dengan Bapa. Kesamaan tiga pribadi ini dari sisi ketuhanan, adapun dari sisi hakekat maka berbeda, karena yesus ada unsur/kodrat manusianya yang jelas berbeda dengan unsur Bapa.

Ketiga : Trinitas ibarat tiga unsur yang membentuk satu kesatuan, ibarat matahari, atau air, atau rokok 

(1) Trinitas itu seperti matahari Matahari mempunyai tiga bagian yg tidak terpisahkan. Ada mataharinya sendiri, ada panasnya, dan ada sinarnya, tapi semuanya satu membentuk matahari. Seperti itulah gambaran Trinitas itu. Benarkah? Kita lihat : Dalam Trinitas, Tuhan Bapa adalah Tuhan, Yesus adalah Tuhan, roh kudus adalah Tuhan.

Dalam analogi itu, matahari memang adalah matahari, tapi apakah panasnya juga bisa disebut matahari, dan apakah sinarnya juga bisa disebut matahari? Tidak. Analogi ini tidak bisa menjelaskan sama sekali tentang Trinitas.

(2) Trinitas itu seperti rokok Rokok mempunyai tiga unsur, rokoknya sendiri, apinya, dan asapnya. Ketiganya adalah unsur yg tidak dapat dipisahkan dalam sebuah rokok. Seperti itulah gambaran Trinitas. 

Benarkah? Kita lihat : jika Tuhan Bapa, Yesus, dan roh kudus semuanya adalah disebut Tuhan, dalam analogi itu rokoknya sendiri memang disebut rokok, tapi apakah apinya bisa disebut rokok? Apakah asapnya bisa disebut rokok? Tidak. Analogi inipun sama sekali juga salah dan tidak dapat dipakai untuk menjelaskan Trinitas.

(3) Trinitas itu seperti air Air adalah suatu unsur yg dapat mempunyai tiga wujud yaitu : padat, cair, dan gas. Ada es, air, dan uap. Kita harus ingat bahwa komponen air dalam wujud apapun adalah tetap sama yaitu H2O. Dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Unsur pokoknya sama, hanya bentuknya saja yg berubah. Seperti itulah gambaran Trinitas.

Analogi ini tampaknya adalah analogi terbaik yang dapat diberikan untuk menjelaskan Trinitas secara logis, dan sepintas memang tampak dapat menjelaskan tentang Trinitas itu. Akan tetapi kalau kita pikirkan lagi, ternyata analogi inipun juga tidak dapat menjelaskan Trinitas dengan baik.

Mereka mengatakan bahwa bentuk air bisa berubah, tapi unsurnya tetap sama, yaitu H2O. Bagaimana dengan Trinitas? Apakah juga berubah bentuk dari unsur yg sama? Tuhan dan roh kudus berbentuk roh (dalam kepercayaan Kristen), dan makhluk hidup (manusia/Yesus) terdiri dari daging dan tulang, dimana manusia juga butuh makanan untuk hidup, jadi mereka tidak sama. Unsur mereka berbeda, jika air dalam bentuk berbeda tetap mempunyai unsur yg sama, yaitu H2O, maka Trinitas dalam bentuk yg berbeda adalah memang terdiri dari unsur yg berbeda. Jadi mereka tidak sama, mereka berbeda. (silahkan lihat pembahasan ini di http://insanberpijar.blogspot.com/2012/08/trinitas-tidak-ada-di-alkitab-tapi.html)

Apapun analogi yang diutarakan oleh umat kristiani tidak akan bisa menjelaskan dengan logis konsep trinitas. Semua analogi terpaksa menetapkan adanya tiga pribadi yang saling berbeda namun selalu berusaha dianggap satu dari satu sudut pandang. Yesus meskipun manusia tapi dari sudut pandang lain merupakan tuhan. (bersambung)

Penulis: Firanda Andirja, MA
Artikel: Firanda.Com

Apakah Jin Betul-Betul Mengetahui Perkara Gaib?

Soal:
Apakah para jin itu mengetahui ilmu gaib?

Jawab:
Jin tidak mengetahui ilmu gaib. Juga semua yang di langit dan bumi tidak ada yang mengetahui ilmu gaib kecuali Allah. Bacalah firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan” (QS. Saba: 14).

Barangsiapa yang mengklaim dirinya mengetahui ilmu gaib, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang membenarkan orang yang mengklaim mengetahui ilmu gaib maka ia juga kafir. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”” (QS. An Naml: 65).

Maka, tidak ada yang mengetahui ilmu gaib kecuali hanya Allah semata. Dan mereka yang mengklaim mengetahui ilmu gaib atau kejadian di masa mendatang, semuanya adalah termasuk dukun. Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahwa beliau bersabda:

من أتى عرافاً فسأله لم تقبل له صلاة أربعين يوماً

barangsiapa yang mendatangi dukun dan bertanya padanya, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim, no. 2230)

Dan jika seseorang mempercayainya maka ia menjadi kafir. Karena jika ia mempercayai ada makhluk yang mengetahui ilmu gaib, berarti ia telah mendustakan firman Allah Ta’ala:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”” (QS. An Naml: 65).

***
Sumber: Fatawa Arkanil Islam no. 44, Asy Syamilah

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.Or.Id

Proses Pengangkatan Hasan bin Ali Menjadi Khalifah

Bagai berdiri diantara dua jurang. Kiranya seperti itulah bahasan seputar sahabat yang mulia ini, Ali bin Abi Thalib beserta  putera beliau, Hasan. Ada dua sikap yang saling bertolak belakang, sangat kontras. Sikap berlebihan dalam memuji (ghuluw) dan sikap 'kurang ajar' dalam mencela beliau terkait masalah kepemimpinan.

Disamping itu, banyak sekali kerancuan yang terjadi seputar kekhilafahan Hasan bin Ali –radhiyallahu 'anhu-. Ada yang mengatakan beliau ditunjuk menjadi khalifah karena wasiat bapak beliau, Ali. Ada pula yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah berwasiat seperti itu.

Syiah, itulah nama kelompok yang meyakini bahwa Ali -radhiyallahu 'anhu- berwasiat kepada puteranya untuk meneruskan kekhilafahan sepeninggal beliau. Kelompok ini yang paling 'getol' menyebarkan keyakinan ini. Keyakinan wasiat yang diusung oleh kelompok ini, Syiah, sangat bertolak belakang dengan keyakinan kaum muslimin secara umum.

Masalah wasiat ini menjadi penting karena sangat sedikit kaum muslimin yang mengetahui kebenarannya. Ditambah, hal ini berada dalam ranah akidah (keyakinan), jika seseorang keliru meyakini masalah ini maka bisa berakibat fatal terhadap keimanannya seperti menyangka sebagian sahabat Nabi atau seorang saja dari mereka adalah orang yang khianat, curang dan sebagainya maka akan fatal akibatnya. Sedangkan para sahabat ini sudah mendapat jaminan surga dari Allah Azza wa Jalla. Memang fatal bukan?

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan meruntut kronologi pengangkatan Hasan sebagai khalifah sepeninggal Ali dengan disertai nukilan-nukilan para ahli sejarah Islam yang terpercaya. Apa betul beliau ditunjuk sebagai khalifah karena wasiat ayah beliau?

Kekhilafahan Hasan dan Keutamaannya 

Setelah khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu 'anhu- wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman bin 'Amru Almurady pada 18 Ramadhan 40 H, Hasan bin Ali dibaiat menjadi khalifah untuk negeri Hijaz, Yaman, Irak, Khurasan, dan selainnya. Masa kepemimpinan beliau berlangsung selama tujuh bulan saja, ada yang berpendapat delapan bulan, dan ada pula yang bilang enam bulan.

Kekhilafahan beliau ini, walau relatif singkat termasuk bagian dari masa khilafah rasyidah, yang mana Rasulullah pernah berkata bahwa masa khilafah rasyidah itu tiga puluh tahun dan setelah masa itu, disebut mulk (kerajaan).

Tujuh bulan masa kekhilafahan Hasan jika ditotal dengan masa kekhilafahan para khalifah sebelumnya, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali –radhiyallahu 'anhum- maka berjumlah tiga puluh tahun, persis seperti apa yang Rasulullah –shalawatullahi wa salamuhu 'alaih- kabarkan. [Lihat: Attabaqatul Kubra karya Ibnu Sa'ad  (4/ 37), Tarikhur Rusul wal Muluk karya Attabary (5/ 143), Alkamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir (3/ 387), dan Albidayah wan Nihayah karya Ibnul Katsir (7/ 387)]

Maksud dari khilafah rasyidah adalah kepemimpinan yang bijaksana atas umat Islam sesuai tuntunan Rasulullah sepeninggal beliau. Jadi, khalifah adalah orang yang mengemban tugas memimpin umat ini sepeninggal beliau. Adapun kata rasyidah maka artinya bijaksana. Ada dua sifat yang melekat pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali -radhiyallahu 'anhum-, yaitu sifat khilafah dan sifat rasyidah (bijaksana) sebagaimana penamaan Nabi –shalawatullahi wa salamuhu 'alaih- untuk mereka.

Yang perlu diingat adalah penamaan ini tidak hanya melekat untuk mereka saja. Bisa jadi ada pemimpin setelah mereka yang bergelar khalifah, ada pula yang bergelar bijaksana. Akan tetapi persaksian Nabi dan penggabungan kedua sifat ini lah yang menjadi kelebihan para khalifah yang empat ini, sifat khilafah dan sifat rasyidah. [Lihat: Syarhul Akidah Thahawiyah karya Shalih Alus Syaikh (1/ 643)]

Para ulama semisal Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Daud –rahimahumullah-, mereka meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah –shalawatullahi wa salamuhu 'alaih- dari Safinah --radhiyallahu 'anhu-, budak beliau. Rasulullah bersabda:
الخلافة في أمّتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك.
Artinya: "Kekhilafahan umatku selama tiga puluh tahun, adapun setelah itu adalah kerajaan". [HR. Tirmidzi (no. 2226), Abu Daud (no. 4646), dan Ahmad (no. 21969). Lafadz hadits ini dari Tirmidzi, beliau menghukumi hadits ini hasan, dan Albany menghukuminya shahih di kitab Shahih Sunanit Tirmidzi.]
             
Hampir sebagian besar ulama seperti Alqadhi 'Iyadh, Ibnu Katsir, Ibnul 'Araby, Ibnu Abil 'Izz, dan selain mereka –rahimahumullah-, ketika menjelaskan hadist ini berpendapat bahwa masa khilafah rasyidah adalah masa kepemimpinan para khalifah yang empat dan ditambah masa kepemimpinan Hasan -radhiyallahu 'anhu- sehingga jumlahnya menjadi genap tiga puluh tahun. [Lihat: Ahkamul Quran karya Ibnul 'Araby (4/ 1720) dan Syarhul Akidah Thahawiyah karya Ibnu Abil 'Izz (545)]

Ibnu Katsir berkata: "Dalil untuk pendapat yang mengatakan bahwa beliau (Hasan) termasuk dari khilafah rasyidah adalah hadits yang kami sebutkan di Dalailun Nubuwah, dari hadits Safinah, pembantu Rasulullah. Jumlah tiga puluh tahun itu tidak mungkin pas kecuali dengan menambahkan masa khilafah Hasan bin Ali". [Albidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (8/ 17)]

Benarkah Hasan Menjadi Khalifah Karena Wasiat Ali?

Pendapat yang betul adalah pengangkatan beliau menjadi seorang khalifah memang murni pilihan kaum muslimin waktu itu, bukan karena wasiat Ali, ayah beliau. Hal ini berdasarkan sebuah atsar (ucapan) dari Ali –radhiyallahu 'anhu- sendiri yang menyatakan penolakan beliau untuk berwasiat.

Imam Dzahaby –rahimahullah- menukil sebuah atsar dari Ali –radhiyallahu 'anhu- lengkap dengan sanadnya bahwa ketika detik-detik sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk khalifah setelah beliau. "Tunjuklah khalifah setelahmu?" pinta mereka. Namun beliau menolak: "Tidak, aku akan membiarkan kalian (memilih) sesuai dengan apa yang Rasulullah tinggalkan untuk kalian (tuntunan beliau dalam memilih pemimpin, pen)". [Lihat: Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahiri wal 'Alam karya Dzahaby (3/ 153)]

Sebagai penguat, Alhafidz Ibnu Katsir –rahimahullah- juga menukil atsar yang senada, dari Ali –radhiyallahu 'anhu- sebelum beliau wafat, dengan redaksi yang sedikit berbeda: "Wahai Amirul Mukminin, tentukan khalifah selanjutnya?" Ketika diminta itu, beliau menolak: "Tidak, akan tetapi aku akan membiarkan kalian (memilih, pen) sebagaimana dahulu Rasulullah membiarkan kalian (memilih khalifah tanpa beliau tentukan, pen). Jika Allah menghendaki kebaikan untuk kalian maka Dia akan kembali menyatukan kalian sebagaimana dulu Allah menyatukan kalian dibawah pimpinan orang yang terbaik setelah Rasulullah". [Albidayah wan Nihayah (8/ 381). Lihat juga: Alkamil fit Tarikh (3/ 85-87)]

Orang yang pertama kali menyodorkan tangan untuk membaiat Hasan setelah Ali –radhiyallahu 'anhu- wafat adalah Qais bin Sa'ad bin Ubadah, beliau berkata: "Sodorkan tanganmu, Aku ingin membaiatmu (menjadi khalifah, pen) sesuai Alquran dan Sunah Nabi?". Hasan pun sempat terdiam, namun Qais tetap meminta beliau maka akhirnya beliau pun menyodorkan tangan beliau. Kemudian kaum muslimin ikut membaiatnya. [Lihat: Albidayah wan Nihayah (8/ 381) dan Alkamil fit Tarikh (3/ 85-87)]
Sebuah Catatan Penting 

Kelompok Syiah Imamiyah sangat 'getol' menyebarkan keyakinan mereka terkait pengangkatan Hasan sebagai khalifah. Mereka meyakini bahwa penunjukan Hasan itu melalui wasiat dari Ali.
Keyakinan seperti ini merupakan salah satu kedustaan mereka terhadap Amirul Mukminin, Ali –radhiyallahu 'anhu- karena semua riwayat yang mereka nukil tidak ada satu pun yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya.
Syiah atau lebih spesifik lagi Rafidhah, mereka meyakini bahwa imamah (kepemimpinan) itu sama persis dengan nubuwwah (penunjukan menjadi nabi), harus melalui penunjukan langsung dari Allah melalui lisan Nabi-Nya. Ini sebagai bentuk kasih sayang Allah, dan setiap jaman tidak boleh lepas dari penunjukan seorang imam dari Allah langsung serta wajib ditaati oleh semua orang.
Manusia tidak punya hak untuk memilih imam (pemimpin). Bahkan seorang imam sekalipun tidak punya hak untuk menentukan siapa imam selanjutnya kecuali dengan penunjukan langsung dari Allah melalui lisan para Imam tersebut. Itulah sekelumit keyakinan 'nyeleneh' kelompok ini, Syiah Rafidhah. [Lihat: Amirul Mukminin, Hasan bin Ali karya Asshallaby (192)]

Syiah membuat puluhan riwayat palsu yang mereka sandarkan kepada para imam mereka, diantaranya adalah sebuah riwayat yang mereka sandarkan kepada Muhammad Albaqir –rahimahullah- bahwa beliau berkata: "Apa kalian mengira penunjukan imam (pemimpin) itu berada ditangan kami dan sesuai kehendak kami!? Demi Allah, tidak. Itu semua berasal dari Rasulullah, beliau lah yang menyebutkan satu persatu setiap imam (beserta namanya) hingga imam terakhir". [Ibid (192)]
Riwayat palsu yang lain adalah riwayat yang disebutkan Kulainy (penulis salah satu kitab rujukan kelompok Syiah, Alkafy), dia menceritakan bahwa Ali pernah berkata kepada Hasan: "Wahai anakku, Rasulullah menyuruhku untuk menyerahkan kepemimpinan kepadamu sebagaimana dulu Beliau menyerahkannya kepadaku. Beliau juga menyuruhku untuk memberitahumu jika kamu nanti sekarat agar menyerahkan kepemimpinan ini kepada adikmu, Husain". Kemudian Ali memanggil Husain dan berkata: "Rasulullah menyuruhmu untuk menyerahkan kepemimpinan itu nanti kepada puteramu ini sambil memegang tangan Ali bin Husain". Kemudian Ali berkata kepada Ali bin Husain: "Rasulullah juga menyuruhmu untuk menyerahkan kepemimpinan itu kepada puteramu, Muhammad bin Ali". "Ini semua perintah Rasulullah". [Alkafy karya Alkulainy (1/ 297-298), buku ini adalah salah satu buku rujukan Syiah]
Inilah Yang Dinamakan Tahun Persatuan
Setelah Hasan diangkat sebagai khalifah, beliau memandang bahwa beliau adalah pemimpin yang sah untuk seluruh kaum muslimin semasa itu. Tidak terkecuali penduduk negeri Syam yang kala itu belum membaiat beliau sebagai khalifah.
Beliau berencana agar penduduk negeri Syam yang masih dipimpin oleh sahabat yang mulia, Muawiyah bin Abi Sufyan –radhiyallahu 'anhu- ikut membaiat beliau agar kaum muslimin dibawah kepemimpinan satu orang saja. Maka beliau bersama pasukan yang besar berangkat menuju negeri Syam.
Ketika kedua pasukan besar ini bertemu, Hasan –radhiyallahu 'anhu- melihat bahwa ini tidak akan selesai sampai kedua pasukan saling bunuh. Lantas beliau pun menempuh jalan damai agar darah kaum muslimin tidak tumpah dengan tawaran beliau mundur dari kekhilafahan dan menyerahkannya kepada Muawiyah jika sahabat yang mulia ini sanggup memenuhi syarat yang beliau ajukan.

Terjadilah perjanjian damai setelah Muawiyah –radhiyallahu 'anhu- memenuhi syarat yang diajukan oleh Hasan –radhiyallahu 'anhu-. Kaum muslimin kala itu kembali bersatu dibawah naungan satu pemimpin. Oleh karena itu, tahun itu dikenal sebagai tahun jama'ah (persatuan).
Imam Bukhari –rahimahullah- menceritakan kisah perdamaian Hasan dan Muawiyah –radhiyallahu 'anhuma- ini secara detail disertai sanadnya yang berasal dari Hasan Albashry –rahimahullah-. Di akhir cerita, beliau menukil sebuah hadits dari Hasan Albashry yang mendengarnya dari Abu Bakrah –radhiyallahu 'anhu- bahwa sahabat ini pernah melihat Rasulullah diatas mimbar bersama Hasan bin Ali disamping beliau. Kadang beliau menatap Hasan dan kadang menatap hadirin kemudian berkata: "Anakku ini adalah seorang pemimpin. Dengannya kelak, mudahan Allah mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin (yang berselisih)". [HR. Bukhari (no.2704)]
Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkomentar tentang hadits ini, beliau menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa upaya damai yang Hasan lakukan untuk kedua kubu adalah hal yang terpuji, Allah dan Rasul-Nya menyukainya. Mungkin ini salah satu kelebihan dan keutamaan yang paling besar pada diri Hasan yang mana Rasulullah telah memujinya atas itu. Kalau seandainya perang kala itu wajib atau mustahab (dianjurkan) maka mana mungkin Rasulullah memuji perbuatan yang menyelisihi perkara wajib atau pun mustahab". [Minhajus Sunnah karya Ibnu Taimiyah (2/ 202)]
Hadits ini juga menjelaskan salah satu bentuk sifat pemimpin yang Rasulullah sematkan pada Hasan, yaitu penyerahan beliau khilafah kepada Muawiyah.
Kedua kelompok yang bersama Hasan dan Muawiyah sama-sama disifati dengan muslimin, yang menunjukkan bahwa kedua kelompok yang berselisih ini tidak keluar dari Islam.

Begitu pula pujian terhadap Muawiyah –radhiyallahu 'anhu-, ada dalam hadits ini. Karena tidak mungkin Rasulullah memuji sikap Hasan –radhiyallahu 'anhu- yang menyerahkan kepemimpinan umat Islam kepada Muawiyah jika seandainya Muawiyah bukan orang yang layak untuk memimpin umat ini. [Lihat: Fathul Wahidil 'Aly fid Difa' 'an Shahabatin Nabi karya Abdullah Assa'ad (60)]
Sikap Ahlus Sunnah Dalam Masalah Ini
Dalam hal ini, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa kekhilafahan Hasan itu sah dan termasuk bagian dari khilafah rasyidah.
Mereka juga memandang upaya damai dengan Muawiyah –radhiyallahu 'anhu- dan penyerahan tampuk pimpinan merupakan kemuliaan yang Hasan –radhiyallahu 'anhu- miliki yang mana dengan begitu, terbuktilah ucapan Rasulullah, Allah mempersatukan penduduk Syam dan penduduk Irak. Jelas, Allah dan Rasul-Nya menyukai hal ini (persatuan).
Inilah sikap Ahlus Sunnah terkait masalah ini, dan ini bagian dari akidah mereka. Para ulama semisal Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, dan Ibnu Katsir –rahimahullah- telah memaparkan hal ini dengan gamblang. [Lihat: Minhajus Sunnah (4/ 532), Majmu'ul Fatawa (25/ 306), Fathul Bari karya Ibnu Hajar (13/ 66), dan Albidayah wan Nihayah (8/ 17)]

Sikap Syiah Rafidhah Dalam Masalah Ini
Syiah memandang upaya damai Hasan dan penyerahan tampuk pimpinan kepada Muawiyah adalah bentuk kelemahan dari Hasan dan penghinaannya terhadap kemuliaan kaum muslimin. Sehingga pasca kejadian itu, mereka memberi beliau gelar dengan sebutan mudzillul mukminin (orang yang membuat kaum musliminin hina). [Lihat: Ma'rifatu Akhbarir Rijal karya Alkussyi (73)]
Tidak berhenti hanya disitu, mereka mengganggap garis imamah (kepemimpinan) telah putus dari anak keturunan Hasan semenjak peristiwa itu. Makanya sisa imam mereka semua berasal dari anak keturunan Husain saja.
Begitulah sikap Syiah, kelompok yang terus mengklaim sebagai kelompok yang sangat menghormati Ahlul Bait Rasulullah, tapi itu hanya sebatas klaim saja. Buktinya inilah sikap mereka terkait peristiwa yang mereka anggap memalukan ini. Ibnu Rustum, Alqummy, dan Almajlisy adalah nama-nama penulis Syiah yang mencantumkan sikap ini didalam karangan-karangan mereka. [Lihat: Dalailul Imamah (89), Alimamah wat Tabshirah minal Hairah (194), dan Biharul Anwar (25/ 239- 259]
Sikap Khawarij Dalam Masalah Ini
Adapun sikap Khawarij, kelompok yang 'gemar' mengkafirkan kaum muslimin dengan alasan dosa yang dilakukan, mereka memandang bahwa apa yang Hasan lakukan dengan berdamai dan menyerahkan kekhilafahan kepada Muawiyah adalah karena kecintaannya (Hasan) terhadap dunia.
Mereka menuduh Hasan tertipu dengan ucapan Muawiyah dan tergiur dengan iming-iming uang emas dan perak yang Muawiyah tawarkan sebagai imbalan jika Hasan mau menyerahkan kepemimpinan kepadanya. [Alkasyfu wal Bayan karya Alqalhany (89)]
Salah satu pandangan seorang penulis Khawarij, Alqalhany tentang Hasan, dia menulis: "Hasan telah menjual akhirat dengan dunia sedangkan Allah mengancam yang orang yang seperti ini:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ. 
Artinya: "janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka". [QS. Hud: 113] [Alkasyfu wal Bayan (89)]
Mereka juga mengharuskan baroah (berlepas diri dan benci) terhadap Hasan karena kesalahan (menurut mereka) yang Dia lakukan, yaitu menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, walau hubungan darah dengan Rasul sekalipun tidak akan berguna untuknya (Hasan). [Kasyful Ghummah (288- 289)]
Demikian, mudahan Allah menunjukkan jalan kebenaran kepada kita semua. Semoga Bermanfaat.

Artikel: www.Alukatsir.Blogspot.com
 

Kawan, Inilah Sikap Yang Tepat Terhadap Para Sahabat

Allah telah memilihkan untuk Nabi-Nya sekelompok orang-orang terbaik di zamannya dan menjadi mereka sebagai sahabat Nabi-Nya. Mereka adalah sebaik-baik penolong dan sebaik-baik teman, semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka adalah sebaik-baik generasi, hati mereka adalah hati manusia yang paling baik setelah para nabi. Mereka adalah imam pemberi petunjuk, mencintai mereka adalah bagian dari agama, keimanan, dan ihsan. Dan membenci mereka adalah bagian dari kekufuran, kemunafikan, dan kesombongan.

Mereka para sahabat adalah orang-orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun sebentar, beriman kepadanya dan wafat dengan berpegang pada keimanan tersebut. Mereka adalah sebaik-baik generasi dan para imam setelah para nabi. Yang demikian itu karena Allah memilih mereka untuk menemani manusia pilihan-Nya yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beriman kepada Nabi, berjihad bersamanya, dan belajar Islam langsung kepada beliau.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai sahabat-sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18).

Dan firman-Nya yang artinya:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29).

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah melihat hati para hamba-Nya, dan mendapatkan hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, lalu memilihnya dan mengutusnya membawa risalah. Kemudian melihat kepada hati para hamba setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan hati para sahabat adalah sebaik-baik hati para hamba, lalu menjadikan mereka sebagai pendamping nabi-Nya. Mereka berperang membela agama-Nya, sehingga apa yang dipandang kaum muslimin sebaagi kebaikan maka ia baik disisi Allah dan apa yang dipandang mereka sebagai kejelakan maka ia adlah kejelekan disisi Allah.”

Wajib bagi seorang muslim untuk mencintai seluruh sahabat Nabi, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencintai mereka, karena mereka juga telah berjihad di jalan Allah dan menyebarkan Islam ke belahan bumi Timur dan Barat, karena mereka telah melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepadanya serta mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya. Inilah akidah keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah.

Allah menyebutkan tentang orang-orang Muhajirin dan Anshar di dalam surat Al-Hasyr, yang artinya:

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)

Allah juga menjelaskan bagaimana hendaknya sikap seorang muslim terhadap sahabat-sahabat Nabi, yaitu: seorang muslim hendaknya memohonkan ampunan untuk mereka dan seorang muslim memohon kepada Allah agar tidak membenci mereka. Sebagaimana firman Allah yang artinya:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Imam asy-Syaukani mengatakan, “Allah memerintahkan setelah memohonkan ampun kepada Muhajirin dan Anshar, kita juga memohon agar Allah menghilangkan dari hati kita rasa kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Termasuk juga orang-orang yang pertama kali beriman, yaitu para sahabat Nabi. Merekalah orang beriman yang paling mulia. Kemudian juga memohon keridhaan Allah untuk mereka.

Jika di hati seseorang terdapat rasa kedengkian keada para sahabat Nabi, maka dia telah masuk ke dalam perangkap setan dan telah bermaksiat kepada Allah karena mengadakan permusuhan kepada wali-wali-Nya dan wali-wali Rasul-Nya. Orang yang dengki ini juga telah membuka pintu neraka jika mereka tidak bertaubat kepada Allah. Hendaknya seseorang senantiasa memohon kepada Allah agar Allah menghilangkan kedengkian di hati mereka terhadap orang-orang dari generasi terbaik ini. siapa yang di dalam hatinya terdapat kedengkian kepada para sahabat lalu mencela salah satu di antara mereka, maka ia telah menolong setan dan jatuh ke dalam murka Allah.”

Kita harus mengetahui kemuliaan dan kehormatan para sahabat Nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

 “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37)

Mereka para sahabat adalah orang-orang yang menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berjihad bersamanya, dan merasakan kesulitan bersama beliau hingga datang pertolongan Allah. Setelah itu, para sahabat membantu beliau menyebarkan tauhid dan risalah Islam. Setelah Rasulullah wafat, mereka meneruskan dakwah tersebut. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Allah juga berfirman yang artinya,

“Namun Rasulullah dan orang-orang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka dan bagi mereka disiapkan kebaikan dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 88-89)

Dalam ayat ini Allah menjanjikan untuk mereka kebaikan, kemenangan, dan surga.

Mereka beriman dan berjihad dengan jiwa dan harta mereka, merekalah orang-orang yang ridha kepada Allah dan Allah pun meridhai mereka, jika demikian siapa yang berani mencela mereka? Siapa yang mampu menghina mereka setelah Allah memuji mereka? dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memuji para sahabatnya dengan sabdanya,

“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang segenerasi denganku, kemudian yang setelah mereka, dan kemudian yang setelah mereka.”

Alangkah indahnya perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

“Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.”

Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi jalannya orang-orang yang beriman ini dengan firman-Nya yang artinya,

“Barang siapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman1, Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Pokok keyakinan Ahlussunnah ridha kepada sahabat Nabi dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, maka Allah ancam dengan adzab. Mencela sahabat Nabi haram hukumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jangan kalian cela seorang pun dari sahabatku. Jika salah seorang di antara kalian berifak dengan emas sebesar Gunung Uhud, maka tidak akan menandingi infak satu mud dari mereka atau bahkan setengah mud.”

Bayangkan kaum muslimin, jika kita menginfakkan emas semisal dan sebesar Gunung Uhud, tidak sama kualitasnya dengan seperempat sha’ infak mereka yang hanya berupa kurma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mencela sahabatku, maka baginya laknat Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan seluruh manusia.”

Mencela mereka sama dengan menyakiti mereka. Allah berfirman yang artinya,

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58).

Siapa yang ingin agar agama dan keimanannya selamat, maka hendaknya ia mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena yang demikian ini adalah sebuah kewajiban bagi orang-orang yang mengaku muslim dan memang hal ini disepakati oleh para ulama akan wajibnya.

Orang-orang yang berpaling dari mencintai mereka pasti akan binasa. Orang yang berpaling dari kewajiban ini pasti akan terkena fitnah. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Janganlah kalian mencela sahabat-sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdirinya mereka –mendampingi Nabi- sesaat saja, itu lebih baik daripada 40 tahun amalan kalian.”

Imam Ahmad mengatakan, “Jika kalian melihat seseorang yang mengatakan keburukan terhadap sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka curigailah orang tersebut akan membuat makar terhadap Islam.”

Hendaknya kita tidak cinta saja dengan para sahabat Nabi akan tetapi tidak membela mereka ketika ada yang mencelanya. Mencintai mereka merupakan sesuatu yang dikedepankan dan membela mereka adalah suatu kewajiban. Karena ada orang-orang Syiah yang merendahkan kedudukan sahabat Nabi yang mulia, mereka mencela sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Zur’ah mengatakan, “Apabila kalian melihat seseorang merendahkan kedudukan salah seorang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah! Mereka itu orang zindiq (munafik yang berusaha merusak Islam dari dalam). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar bagi kita, Alquran itu benar, dan Alquran sampai kepada kita melalui sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka (orang yang mencela) hendak menjelekkan saksi-saksi kita agar Alquran dan sunnah pun jadi jelek. Semestinya merekalah yang lebih layak dikritik dan dijelekkan.”

Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Fayiz Harbi hafizhahullah


Oleh: Tim KhotbahJumat.com
Artikel: www.KhotbahJumat.com
 

Seputar Definisi Iman?

Iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’, katakanlah, Kalian belum beriman, tapi katakanlah ‘Kami telah tunduk.’ Karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian…” (Qs. Al-Hujurat: 14)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman itu hendaklah: Engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kita-kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari Kiamat, dan hendaklah engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (Shahih Muslim I/135)

Hasan Al-Bashri berkata: “Iman itu bukanlah dengan berangan-angan dan berhias akan tetapi dia adalah sesuatu yang kokoh dalam hati dan dibuktikan oleh amalan.”

Sumber:
Ambillah Aqidahmu dari Al-Qur’an dan Sunnah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Al-Husna, 2009

Artikel: Aqidatuna.Com

Mari Mengenal Sekte Murji’ah

Bismillah, walhamdu lillah, washolaatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan di antara hal yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tentang berpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan; seluruhnya terancam masuk neraka kecuali satu, yaitu yang meniti jalan Rasulullah dan para sahabatnya.

Apa yang disampaikan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah omong kosong. Melainkan hal itu telah menjadi kenyataan sebagaimana yang kita saksikan saat ini.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan ia tidak berbicara dengan hawa nafsu. Namun itu adalah wahyu yang diturunkan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Oleh sebab itu, sebagai seorang mukmin hendaknya kita juga mengetahui dan mengenali golongan-golongan yang menyimpang tersebut disamping mempelajari dan mengikuti golongan yang selamat. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Hudzaifah bin Yamanradhiyallahu ‘anhu,

Orang-orang selalu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku selalu bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir (kejelekan tersebut) akan menimpa diriku.”1

Dan insya Allah kali ini kita akan coba sedikit mengenal salah satu dari kelompok-kelompok dalam Islam yang telah muncul saat ini, yaitu Murji’ah.

Pengertian Murji’ah

Murji’ah merupakan isim fa’il dari kata al-irja’ yang memiliki dua makna:
  1. Berarti : pengakhiran.
  2. Berarti : memberikan harapan.
Secara istilah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad, Murji’ah ialah: orang-orang yang menganggap:
  1. keimanan itu hanya sebatas pengucapan dengan lisan saja2, dan seluruh manusia tidak saling mengungguli dalam keimanan. Sehingga, keimanan mereka dengan keimanan para malaikat dan para nabi itu satu (sama dan setara).
  2. Keimanan itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
  3. Tidak ada istitsna’ (ucapan insya Allah) dalam hal keimanan3.
  4. Dan siapa saja yang beriman dengan lisannya namun belum beramal, maka ia seorang mukmin yang hakiki.4
Sedangkan Syekh Abdul Aziz Ar-Rojihi mengatakan, “Murji’ah ialah mereka yang mengeluarkan amal perbuatan dari cakupan keimanan.”5

Sebab Mereka Dinamakan Murji’ah

Mereka disebut Murji’ah dikarenakan mereka mengeluarkan amal perbuatan dari cakupan keimanan. Mereka mengatakan bahwa kemaksiatan tidak memiliki pengaruh buruk pada keimanan )seseorang) sebagaimana ketaatannya tidak bermanfaat dalam kekufuran. Kemudian, dengan dasar ini mereka senantiasa memberikan harapan kepada pelaku maksiat berupa pahala dan ampunan Allah.6
Ada juga yang mengatakan bahwa mereka disebut Murji’ah karena senantiasa memberikan harapan atas pahala dan ampunan kepada para pelaku maksiat.

Perbedaan dasar antara murji’ah dan ahlus sunnah

Perbedaan yang paling mendasar antara Ahlus sunnah dan kelompok Murji’ah adalah pada masalah defenisi keimanan. Murji’ah mengatakan keimanan itu hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat disertai pembenaran dalam hati. Dan mereka tidak memasukkan amal perbuatan sebagai bagian dari keimanan.
Sedangkan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa keimanan itu adalah:
  1. Pengucapan dengan lisan. Yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.
  2. Meyakini dengan hati.
  3. Pengamalan dengan anggota badan.
  4. Dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, serta berkurang dengan bermaksiat.

Kelompok-kelompok murji’ah

Para ulama yang menulis kitab-kitab firaq (sekte-sekte dalam Islam) berbeda-beda dalam mengklasifikasikan jenis-jenis Murji’ah. Berikut adalah pengklasifikasian Syaikhul islam ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap kelompok ini.
  1. Kelompok yang mengatakan bahwa keimanan itu hanya sebatas apa yang ada dalam hati, berupa pengetahuan dan keyakinan. Diantara mereka ada yang memasukkan amalan hati ke dalam cakupan iman, dan ada juga yang tidak seperti Jahm bin Shofwan dan para pengikutnya.
  2. Kelompok yang mengatakan bahwa iman itu hanya sebatas ucapan dengan lisan. Dan ini merupakan perkataan Karromiyyah.
  3. Kelompok yang mengatakan keimanan itu hanya pembenaran dengan hati dan ucapan (2 kalimat syahadat).7 Dan ini merupakan perkataan Murjiah fuqaha.8
Jenis yang ketiga ini merupakan yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah, dan kelompok Murji’ah sering ditujukan untuk jenis yang ini.
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rojihi juga mengklasifikasikan murji’ah menjadi 4 kelompok:
  1. Jahmiyyah. Mereka mengatakan keimanan itu adalah pengenalan terhadap Rabb dengan hati. Sedangkan kekufuran itu kejahilan terhadap Rabb dalam hati. Mereka adalah orang-orang ekstrim; dan ini merupakan defenisi yang paling rusak tentang iman.
  2. Karromiyah. Mereka mengatakan bahwa keimanan itu hanya sebatas ucapan dengan lisan. Jika seseorang telah mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka dia adalah seorang mukmin walaupun dalam hatinya berbohong.
  3. Asy’ariyah dan Maturidiyah. Mereka mengatakan bahwa keimanan itu hanya pembenaran hati.
  4. Murji’ah fuqoha. Mereka mengatakan bahwa keimanan itu perbuatan dan pembenaran hati serta pengucapan dengan lisan. Dan ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan para murid beliau.9
Dan penamaan murji’ah fuqaha dikarenakan mereka adalah dari kalangan para ahli fiqih dan ahli ibadah yang diakui oleh ahlus sunnah.

Diantara buah pemikiran kelompok murji’ah

Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa perbedaan dasar antara Murji’ah dan Ahlus Sunnah ialah dalam permasalahan iman. Dari sinilah muncul banyak pandangan mereka yang menyelisihi Ahlus Sunnnah. Diantaranya adalah:
  1. Keimanan itu tidak bertambah dan tidak juga berkurang.10
  2. Seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan telah meyakininya dengan hati disanggap sebagai seorang Mukmin yang sempurna imannya serta termasuk penghuni surga; walaupun ia meninggalkan salat, puasa, dan melakukan dosa-dosa besar lainnya.
  3. Keimanan seorang mukmin sama seperti keimanan para malaikat dan juga para nabi. Karena keimanan itu tidak saling melebihi satu dengan yang lain.
  4. Seseorang tidak boleh beristitsna dalam keimanan, yaitu mengatakan “saya mukmin insya Allah”. Karena hal itu menunjukkan menandakan keraguan dalam keimanan. Yaitu ashlul iman (pokok keimanan). Dan siapa yang ragu dalam keimanan, maka tidak bisa dikatakan sebagai seorang mukmin.11 . Kecuali berkata demikian dalam rangka khawatir terjerumus dalam men-tazkiyah diri sendiri, yaitu khawatir dianggap merasa imannya sudah sempurna, maka boleh berkata demikian. Namun bukan dalam rangka meragukan ashlul iman (pokok keimanan)12 .
Wallahu a’lam.
***
Referensi:
  1. Al-Jami’ Ash-Shahih, Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari.
  2. Mauqif ahlis Sunnah wal jama’ah min ahlil ahwaa’ wal bida’, DR. Ibrahim ibn ‘Aamir Ar-Ruhaili.
  3. Majmu’ fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  4. Al-mukhtar fi ushulis sunnah, Abdul Aziz Ar-Rojihi.
  5. Ushuluddin ‘indal imam Abi Hanifah, Muhammad ibn Abdirrahman Al-Khumais.
Catatan Kaki
1 HR. Bukhari no. 3606.
2 Maksudnya: keimanan itu hanya sebatas ucapan dua kalimat syahadat saja. Sehingga, seseorang sudah dianggap mukmin hanya dengan mengucapkan dua kalimat tersebut.
3 Maksudnya, seseorang mengatakan,Saya mukmin insya Allah”.
4 Mauqif ahlis Sunnah wal jama’ah min ahlil ahwaa’ wal bida’ 1/152.
5 Al-mukhtar fi ushulis sunnah 1/265, syamilah.
6 Mauqif ahlis Sunnah wal jama’ah min ahlil ahwaa’ wal bida’ 1/152.
7 Ushuluddin ‘inda Abi Hanifah 1/354, Syamilah.
8 Majmu’ fatawa 111/223, syamilah.
9 Al-mukhtar fi ushulis sunnah 1/265, syamilah.
10 Ushuluddin ‘inda Abi Hanifah 1/389, Syamilah.
11 Ushuluddin ‘inda Abi Hanifah 1/415, Syamilah.
12 Simak penjelasan Syaikh Muhammad Ali Farkus di http://www.ferkous.com/site/rep/Ba12.php
 
 
Penulis: Muhammad Nurul Fahmi
Artikel: Muslim.Or.Id

Bentuk Korelasi Antara Nama & Sifat Allah Dengan Kehidupan Kita

Bismillah.

Pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa Pencipta dan Pengatur alam semesta beserta isinya hanyalah Allah yang Maha Satu, tiada sekutu satupun bagiNya.

Rabb kita tersebut memiliki Nama-nama yang begitu indah dan Sifat-sifat yang begitu mulia. Keindahan dan kemuliaan yang ada pada nama dan sifat tersebut tiada tara jika dibandingkan dengan nama dan sifat makhluk. Begitu tinggi hingga tidak ada yang dapat menyamai keindahan nama dan kemuliaan sifat Allah dari kalangan makhlukNya.

Allah memiliki nama Al-Jawad yang artinya Maha Pemurah dalam memberi. Nama tersebut sesuai dengan sifat yang terkandung padanya, yaitu sifat mudah memberi yang ada pada Allah, pemilik nama tersebut.

Dan diantara manusia juga ada yang menamai diri mereka dengan Jawad yang artinya suka memberi dan menderma. Namun belum tentu orang yang bernama dengan nama ini memiliki sifat mudah memberi, atau bahkan bisa jadi ia adalah orang yang pelit. Namanya tidak mengindikasikan sifat itu ada pada empunya.

Sedangkan Nama-nama Allah pasti mengindikasikan setiap sifat yang terkandung di balik nama-nama tersebut pada diri Allah. Adapun manusia, belum tentu nama yang dimilikinya sesuai dengan sifat yang ada padanya. Itulah perbedaannya.

"Dan perumpamaan yang paling baik lagi tinggi hanya untuk Allah semata". [QS. An-Nahl: 60]

Sebagian manusia memiliki sifat suka berbuat baik kepada orang lain. Dan Allah memiliki sifat suka berbuat baik (ihsan). Namun perbedaan kadar kebaikan yang diberikan sangatlah jauh berbeda, tidak dapat disandingkan.

Kenapa? Karena kemuliaan dan keluasan sifat ihsan yang ada pada Allah sangatlah besar dan tidak berbatas. Adapun sifat ihsan yang ada pada manusia itu sangatlah terbatas.

Sama-sama memiliki sifat ihsan namun kandungan dan cakupannya sangatlah berbeda jauh. Hal ini karena perbedaan yang mendasar dari keduanya. Allah adalah Rabb yang Maha Sempurna sedangkan manusia adalah makhlukNya yang sangat lemah dan banyak kekurangan. Maka begitu pula halnya nama dan sifat yang ada pada keduanya.

Sebagaimana Allah tegaskan hal ini di dalam firmanNya:

"Tidak ada yang menyerupaiNya (di antara makhluk) sedikitpun. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [QS. Asy-Syura: 11]

"Dan manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah".[QS. An-Nisa: 28]

Ada satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, yaitu kita sepatutnya menetapkan bahwa Allah memiliki Nama-nama yang begitu indah dan Sifat-sifat yang begitu agung, sesuai dengan apa yang Allah dan RasulNya tetapkan di Al-Qur'an dan Hadits, tanpa merubah maknanya sedikitpun, membagaimanakan bentuk dan caranya, dan menyerupakannya dengan makhlukNya sedikitpun.

Kita mengimani hal ini sebatas kita mengetahui makna dari nama dan sifat tersebut tanpa perlu membayangkan bagaimana bentuk dan caranya. Tidak pula dengan memisalkan ataupun menyerupakannya dengan satu pun makhluk Allah, tidak.

"Istiwa (berada) maklum (secara makna) namun bentuk dan caranya itu tidak diketahui (oleh makhluk). Adapun betanya-tanya tentang hal itu malah bukan tuntunan Nabi dan kebiasaan para sahabat...", jawab Imam Malik dengan muka memerah tatkala ditanya mengenai bagaimana istiwa Allah dan caranya.

Ucapan Imam Malik tersebut kemudian menjadi semacam kaidah baku di kalangan ulama salaf hingga saat ini. Kaidah yang berlaku untuk semua bahasan yang berkaitan dengan sifat Allah yang Maha Mulia.

Hal yang senada juga disampaikan oleh sebagian besar ulama ahli sunnah, baik sebelum masa Imam Malik maupun sesudah beliau, yaitu sebuah kaidah yang diterapkan dalam bab sifat-sifat Allah:

"Biarkan saja (ayat-ayat yang menetapkan sifat Allah) apa adanya sebagaimana (ayat-ayat tersebut) datang (kepada kita".

Ya. Mari kita biarkan ayat-ayat yang menetapkan bahwa Allah memiliki sifat demikian dan demikian sebagaimana diturunkan kepada kita, tanpa diotak-atik maknanya ataupun dibagaimanakan caranya. Karena Allah lah yang paling tahu tentang diriNya ketimbang para makhlukNya.

Jadi, pembicaraan seputar sifat-sifat Allah itu persis seperti pembicaraan seputar dzat Allah, tidak berbeda sama sekali.

Jika kita menetapkan bahwa Allah ada maka kita juga harus menetapkan sifat-sifat Allah seperti Allah memiliki tangan sebagiamana makhluk juga punya tangan namun sangat jelas berbeda tangan Allah, Pencipta yang Maha Sempurna dengan tangan makhluk yang terbatas dan lemah seperti tangan manusia dan makhlukNya yang lain.

Begitu pula Allah memiliki mata, jari jemari, pendengaran, penglihatan, turunNya Allah ke langit dunia, sifat gembira Allah terhadap taubat hambaNya, sifat tertawa Allah, dan seterusnya.

Allah sangat menyukai jika ada diantara hambaNya yang berusaha meniru sifat-sifat Allah yang begitu mulia dan tinggi.

Bahkan Allah akan memperlakukan setiap hambaNya sesuai dengan perlakuan mereka terhadap sesama.

Bukankah kita telah mengetahui melalui ayat-ayat suci Al-Qur'an maupun hadits-hadits shahih Nabi bahwa:

Allah itu Maha Pengasih dan Dia menyukai orang-orang yang mau mengasihi dan menyayangi sesama. Bahkan Allah mencurahkan begitu banyak kasih sayangNya kepada mereka.

Allah itu Maha Menutup aib dan Dia pun suka terhadap orang-orang yang menutup dan menyembunyikan aib hamba-hambaNya.

Allah itu Maha Pemaaf dan Dia pun begitu mencintai orang-orang yang mudah memaafkan di kalangan hambaNya.

Allah itu Maha Lembut dan Dia sangat menyukai orang-orang yang berlemah lembut kepada hamba-hambaNya.

Allah itu Maha Adil dan juga mencintai orang-orang yang berlaku adil terhadap sesama.

Dan begitulah seterusnya. Allah akan memperlakukan setiap hambaNya sesuai dengan bagaimana ia bersikap dan memperlakukan sesama.

Jika Anda mudah memaafkan maka Allah pun akan mudah memaafkan Anda. Jika Anda berlemah-lembut terhadap orang lain maka Allah pun akan memperlakukan Anda dengan penuh kelembutan.

Sebaliknya, jika Anda suka mencari-cari kesalahan saudara seiman Anda maka Allah pun akan dengan mudah menampakkan kesalahan Anda. Jika Anda suka berbuat tipu daya kepada orang lain maka Allah pun akan mengembalikan tipuan itu kepada Anda.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan hal ini dan menegaskannya di dalam hadits beliau:

"Barangsiapa yang mau menutupi (aib dan kekurangan) seorang muslim maka Allah pun akan menutupi (kekurangan dan kesalahan)nya di dunia dan di akhirat.

Barangsiapa yang mau membantu meringankan satu beban dan kesulitan orang mukmin dari berbagai kesulitan dunia maka Allah pun akan melepaskan kesulitan dan bebannya dari beragam kesulitan dan beban hari kiamat kelak.

Barangsiapa yang mempermudah urusan seorang mukmin maka Allah akan mempermudah urusan hisabnya (perhitungan amalannya) kelak". [HR. Muslim]

Pembaca yang dimuliakan Allah, bahasan ini adalah bahasan yang penting. Hendaknya kita betul-betul berusaha meresapi dan memaknainya untuk kemudian kita amalkan di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ingatlah bahwa kita memiliki Rabb yang memiliki banyak Nama yang begitu agung dan Sifat-sifat yang begitu tinggi lagi mulia. Sangat agung, sangat tinggi, dan sangat indah yang mana kita sebagai makhlukNya tidak mungkin bisa membayangkan betapa indah dan tingginya nama dan sifat yang dimiliki oleh Rabb kita tersebut.

Kita mengimaniNya dan mengimani Nama-nama dan Sifat-sifatNya tersebut dan menyembahNya sesuai perintahNya dan tuntunan Rasul UtusanNya. Itu saja sebagai bekal kita ketika menghadapNya kelak di Hari Kiamat. Adapun segala hal yang berkaitan dengan kehidupan kita, takdir kita, baik itu rezeki, kebahagiaan, kesedihan, kelebihan, kekurangan, dan sebagainya, maka itu kita kembalikan kepada Rabb kita yang memiliki Nama dan Sifat yang sangat agung tadi.

Dialah Pemberi Rezeki maka janganlah kita khawatir dengan rezeki kita. Dialah Pengatur semesta seluruhnya termasuk segala urusan kita maka janganlah mempermasalahkan segala ketetapanNya atas kehidupan kita karena Dia yang mengatur dan Dia pula Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang mana kasih sayangNya kepada kita melebihi kasih sayang ibu kita sendiri kepada kita.

Dia pula yang Maha Mengetahui segala sesuatu maka janganlah sekali-kali kita berpikir bahwa apa yang kita tidak miliki atau  terlepas dari kita, itu akan merugikan kita, justru Allah lah yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita karena Dia Maha Mengetahui dan Begitu Menyayangi para hambaNya.

Tugas kita hanyalah menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan apapun dan siapapun. Jangan pernah memutus hubungan, harapan, dan takut kita kepadaNya karena Dia lah pemilik segalanya, di bumi dan di langit, di dunia dan di akhirat. Tetaplah di jalur penghambaan diri kepadaNya berlandaskan petunjuk Rasul tercintaNya karena itulah satu-satunya jalan keselamatan di dunia dan akhirat.  

Demikian. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad.

Rujukan:
• Kitab Al-Asma was Shifat karya Baihaqi
• Kitab Akidah Wasithiyyah karya Ibnu Taimiyah
• Kitab Ash-Shawaiqul Mursalah karya Ibnul Qayyim
• Kitab Al-Qawaidul Mutsla karya Ibnu Utsaimin
• Kitab Taqribut Tadmuriyah karya Ibnu Utsaimin
• Kitab Ash-Shifatul Ilahiyah karya Muhammad Al-Jami

Artikel: Alukatsir.Blog.Com

Yang Perlu Diketahui Dari Tauhid Asma Wa Sifat

Kata “asma” adalah bentuk jama dari kata “ismun”, yang artinya ‘nama’. “Asma Allah” berarti ‘nama-nama Allah’. Asma’ul husna berarti nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Misalnya: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur, dan lain-lain.

Sedangkan kata “sifat” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam bahasa indonesia. Kata “sifat” dalam bahasa arab mencakup segala informasi yang melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi benda” dalam bahasa arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar  kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada benda tersebut.

Dengan demikian, kata “sifat Allah” mencakup perbuatannya, kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala informasi tentang Allah. Karena itu, sering kita dengar ungkapan ulama, bahwa diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke langit dunia, Allah bersemayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan kemurahan-Nya, keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain.

Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan empat hal berikut:

1. Tahrif (menyimpangkan makna)
yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat  Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

2. Ta’thil (menolak)
Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.

Contoh menolak secara keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang tidak mau menetapkan nama maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap bahwa siapa yang  menetapkan nama dan sifat untuk Allah berarti dia musyrik.

Contok menolak sebagian adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah atau Asya’irah, yang membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya. Atau menetapkan sebagian nama Allah dan menolak nama lainnya.

3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah)
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.

Karena hal ini tidak mungkin dilakukan makhluk. Untuk mengetahui bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa diketahui dengan tiga hal:

a) Melihat zat tersebut secara langsung. Dan ini tidak mungkin kita lakukan, karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

b) Ada sesuatu yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan. Dan ini juga tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal ini.

c) Ada berita yang akurat (khabar shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat Allah. Baik dari Al Qur’an maupun hadis. Karena itu, manusia yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan bentuk dan hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupa dengan-Nya.
Allah berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)

Kaidah Penting Terkait Nama dan Sifat Allah
Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait nama dan sifat Allah:

1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).

Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Alquran, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.

“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 85)

Begitu pula dalam mengimani hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat memahaminya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.’” (HR. Abu Dawud dan At Turmudzi, dinilai sahih oleh oleh Al Albani)

2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.

Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.

Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat. Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:

Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki kaki, namun bentuk dan hakikat kaki tersebut tetaplah berbeda.

Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan nama-nama Allah hanya ada 13. Padahal apa yang mereka lakukan justru menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki sifat-sifat yang terbatas.

3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana bentuk dan hakikat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat menanyakan kaifiat (bagaimananya) sifat tertawa Allah, atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.

Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat tersebut. Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.

Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah. hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.

Sekarang kita praktikkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami salah satu hadits tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke langit dunia setiap malam, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesuai kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.Kita tidak menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun pada makhluk adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang (naqish)) dan juga kita tidak menanyakan atau membayangkan bagaimana Allah turun ke langit dunia setiap malam (seperti banyak orang menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini karena menganggap tidak mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam karena dunia ada yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah karena berpikir dengan logika makhluk). Allah sempurna dengan segala sifatnya dan tidak memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut. Jika kita tidak mampu memahami ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya bahwa sifat turun ini ada pada Allah.

Contoh lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain (dua tangan) dan al-’ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Alquran.

Allah berfirman, yang artinya, “Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 27)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata Kami.” (Qs. Ath-Thur: 48)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Qs. Shad: 75)

Dari apa yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai kaidah, kita mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak menanyakan bagaimana bentuk atau penggunaan dari sifat-sifat Allah tersebut, misalnya mempertanyakan bagaimana wajah Allah, atau membayangkan mata Allah seperti manusia atau membayangkan bagaimana Allah menggunakan kedua tangan-Nya.
*****

Referensi:
  1. Majalah Al-Furqon, edisi 08, tahun ke-8, 1430/2009.
  2. Syarah Tsalaatsatul Ushul, Syekh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin.
  3. Syarh Al-’Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Sa’id bin Ali bin Wahfi Al-Qahthaniy
Artikel: www.Yufidia.com