Manakala Proporsional Selalu Lebih Indah

Ilustrasi

Pernahkah istri Anda membuat masakan yang keasinan? Bagaimana rasanya? Tentu saja tidak enak! Di lain kesempatan, barangkali istri Anda juga pernah lupa tidak membubuhkan garam di masakannya. Bagaimana rasanya? Jelas saja hambar, dan makan menjadi kurang nikmat. Begitulah sesuatu yang tidak pas dan proporsional, akan tidak enak dirasa, juga tidak indah dipandang.

‘Kaidah’ tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka. Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun ‘kaidah’ ini juga berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, yang subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya, masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu menurut Anda juga demikian. Relatif!

Proporsionalitas ajaran Islam

Tawâzun atau tanâsub (keseimbangan), begitu kira-kira kata lain proporsional dalam bahasa Arab. Salah satu keistimewaan ajaran Islam, ia memiliki karakter yang seimbang dalam segala sesuatunya. Karenanya terlihat begitu indah. Dalam menyikapi dua alam; dunia dan akhirat, misalnya. Islam membolehkan manusia untuk menikmati keindahan duniawi, selama dalam koridor yang diizinkan agama. Namun Islam juga memotivasi manusia untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi menghadapi kehidupan abadi di negeri akhirat kelak. Amat proporsional bukan? Jadi Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan duniawi, tidak pula mengusung ideologi yang melupakan negeri keabadian.

Masih banyak contoh lain yang menggambarkan keseimbangan ajaran Islam. Yang manakala ajaran tersebut tidak dipraktekkan dengan baik, maka pasti akan muncul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seorang insan.

Ukuran proporsionalitas amalan

Saat kita berbicara tentang suatu amalan, apakah ia benar atau salah, atau apakah ia proporsional atau tidak, bisa jadi ada sebagian kalangan yang menyeletuk, “Benar menurut siapa? Proporsional menurut siapa? Menurut saya atau anda? Menurut ulama kami atau ulama kalian? Menurut kami amalan ini sudah benar dan proporsional. Toh jika menurut kalian salah dan ekstrim, itu adalah pendapat kalian.  Kebenaran kan relatif?”. Begitu komentar mereka.

Anda tidak perlu merasa bingung menghadapi pertanyaan seperti ini. Sebab kita memiliki barometer yang jelas dan gamblang untuk mengukur hal tersebut. Amalan atau ideologi apapun yang dilandasi dalil sahih, maka itulah yang benar. Sikap apapun yang bersumber dari al-Qur’an atau hadits sahih, serta didukung dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, itulah sikap yang proporsional.

Dari sini kita mengetahui kekeliruan celetukan sebagian orang, saat mengomentari temannya yang rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Ditambah sangat berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis, “Kamu itu jangan alim-alim amat kenapa! Ekstrim banget sih! Cobalah kamu lebih moderat dikit!”.

Dia menilai shalat tepat waktu dan menjaga jarak dengan lawan jenis sebagai perilaku ekstrim. Padahal itu bagian dari ajaran agama. Sehingga tidaklah mungkin dikategorikan perilaku ekstrim. Sebab ajaran Islam, manakala diterapkan dengan benar, itulah inti dari sikap proporsional. Tidak ada aturan yang lebih proporsional dibanding aturan Allah ta’ala.

Proporsionalitas Islam dalam menyikapi kuburan

Agama Islam sangat kental dengan keseimbangan dan sikap tengah dalam setiap bagian ajarannya. Termasuk dalam perihal kuburan.
Terkait dengan masalah kuburan, sikap proporsional tersebut terbangun di atas dua pertimbangan:

Pertama: maslahat menjaga kehormatan orang yang telah meninggal.

Kedua: maslahat menjaga kemurnian akidah orang yang masih hidup.[1]

Upaya menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidahnya orang yang masih hidup.
Sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, bukan dengan sesuatu yang menodai kehormatan orang yang telah meninggal.

Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan.
Berikut beberapa contoh ajaran Islam yang berdimensi penghormatan terhadap kuburan, juga orang yang telah meninggal dunia:

1. Islam mengharamkan membuang hajat di atas kuburan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

لأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ. وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْطَ السُّوقِ

“Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di atas kuburan seorang muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk)”. HR. Ibn Majah (II/154 no. 1589) dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu. Al-Mundziry menilai sanad hadits ini jayyid (baik)[2]. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih[3].

2. Islam melarang berjalan di atas kuburan.

Dalilnya antara lain adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu tersebut di atas.

3. Islam melarang duduk di atas kuburan

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Lebih baik salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga membakar baju dan kulitnya; daripada duduk di atas kuburan”. HR. Muslim (VII/41 no. 245) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

4. Islam melarang mengenakan sandal di pekuburan

Basyir radhiyallahu’anhu; hamba sahaya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita bahwa suatu saat beliau melihat seseorang berjalan di pekuburan sambil mengenakan sandal. Maka beliaupun bersabda,

يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ! أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ

Wahai si pemakai sandal, celaka engkau. Lepaskan kedua sandalmu!”. HR. Abu Dawud (III/360 no. 3230) dan isnadnya dinyatakan sahih oleh al-Hakim[4] dan al-Albany[5].

5. Islam melarang mematahkan tulang mayit

Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
 
“Mematahkan tulang mayit mukmin seperti mematahkannya di saat ia masih hidup”. HR. Ahmad (41/58 no. 24739) dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban[6] serta al-Albany[7].

6. Islam membolehkan meletakkan tanda di atas kuburan

Hal itu dalam rangka menandai bahwa tempat tersebut adalah kuburan, sehingga mudah diketahui saat akan berziarah. Juga tidak dilangkahi atau diduduki.

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ بِصَخْرَةٍ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menandai kuburan ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu”. HR. Ibn Majah (II/152 no. 1583) dan isnadnya dinyatakan hasan oleh al-Bushiry[8] juga Ibn Hajar[9].

Inilah kadar tanda yang dibenarkan oleh agama kita. Adapun menandai kuburan dengan bangunan, apapun bentuknya, entah sekedar bangunan persegi panjang atau hingga kubah, maka hal itu terlarang. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian.    

Jika dicermati dengan baik, berbagai aturan tersebut di atas, mengarah kepada penghormatan terhadap kuburan dan ahli kubur, namun tidak beraroma pengkultusan. Sehingga akidah umat tetap terjaga kemurniannya. Inilah salah satu keindahan ajaran Islam. Amat proporsional!

Adapun segala sikap yang menjurus kepada pengkultusan kuburan atau ahli kubur dan bisa menodai akidah umat, maka pintu tersebut ditutup rapat-rapat oleh agama kita. Walaupun berdalihkan penghormatan.

Misalnya:

1. Shalat menghadap kuburan.
 Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mewanti-wanti,
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya”. HR. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiyallahu’anhu.

Imam Nawawy (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat ke arah kuburan. Imam Syafi’i berkata, “Aku membenci tindak pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya”.[10]

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggandengkan antara dua etika.  
Etika pertama untuk menghormati ahli kubur, yakni dengan tidak menduduki kuburannya.  

Etika kedua untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, yakni dengan tidak shalat menghadap kuburan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara penghormatan terhadap ahli kubur dengan penjagaan terhadap akidah umat.

2. Membangun masjid di kuburan
Rasul shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

3. Mendirikan bangunan di atas kuburan
Di antara yang disunnahkan berkenaan dengan masalah kuburan adalah mening­gikannya satu jengkal saja dan tidak lebih dari itu. Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu menceritakan bentuk makam Nabi shallalallahu’alaihiwasallam,

 وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْواً مِنْ شِبْرٍ 

“Makam beliau shallallahu’alaihiwasallam ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal.” HR. Ibnu Hibban (XIV/602 no. 6635) dan isnadnya dinilai hasan oleh Syaikh al-Albany[11].

Bahkan, para ulama melarang untuk menambah tanah di atas kuburan dengan tanah yang berasal dari luar kuburan tersebut.

Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata, “Aku lebih suka untuk tidak ditambahkan di atas kuburan tanah dari selainnya”[12].

Seandainya meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah lain saja dilarang, bagaimana jika didirikan bangunan di atasnya? Entah itu berupa nisan persegi panjang (biasanya dibuat setelah seribu hari dari kematian), kubah, joglo atau masjid!

Sebab itu semua menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam berikut:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang untuk dibangun di atas kuburan atau ditambah di atasnya.” HR. An-Nasa`i (IV/391 no. 2026) dari Jabir radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban[13], al-Hakim[14] dan al-Albany[15].

Membuat bangunan di atas kuburan merupakan salah satu faktor terbesar yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kuburan tersebut. Yang ujung-ujungnya bermuara kepada kesyirikan. Karena itulah tidak heran jika para ulama mu’tabar dari kalangan empat mazhab Ahlus Sunnah satu kata dalam melarang hal tersebut.[16]

Dan masih banyak praktek-praktek lain terhadap kuburan yang dilarang di dalam Islam. Seperti membuat tulisan di atas kuburan, mewarnainya, meneranginya dengan lampu dan yang semisal. Yang semuanya itu pasti akan menimbulkan dampak negatif, besar atau kecil, terasa atau tidak, terutama terhadap akidah umat.

Sebab kita haqqul yaqin bahwa setiap yang dilarang agama, pasti akan membawa keburukan. Sebaliknya, setiap yang diperintah agama, pasti akan mendatangkan kemaslahatan.

Renungan

Alangkah menyedihkannya perilaku sebagian kalangan yang begitu bersemangat untuk menghiasi kuburan dengan bangunan, padahal itu jelas-jelas haram. Di kesempatan lain, saat mengantar jenazah ke pemakaman, dengan santai sambil ngobrol, mereka duduk-duduk di atas kuburan. Padahal ini juga terlarang. Jadi, larangan mana yang tidak mereka langgar? Terus maslahat apa yang sudah mereka realisasikan?

Kesimpulan

Dari studi ringkas di atas, insyaAllah kita bisa melihat betapa ajaran Islam mengenai kuburan sangatlah proporsional dan tidak timpang sudut pandangannya. Semua mendapat porsi perhatian yang memadai. Baik kepentingan ahli kubur, maupun kepentingan orang yang masih hidup. Kehormatan orang yang meninggal tetap dihargai. Akidah masyarakat pun tetap terjaga.

Jika aturan di atas tidak dijalankan, bisa dipastikan ada pihak yang dirugikan. Bisa jadi yang dirugikan adalah ahli kubur, karena kehormatannya dinodai. Atau lebih parah lagi, yang dirugikan adalah umat manusia, karena akidah mereka rusak. Ujung-ujungnya keindahan proporsionalitas ajaran Islam tentang kuburan, akan tampak buram, akibat ulah sebagian kaum muslimin sendiri.

Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu…

Penulis: Abdullah Zaen, MA
Sumber: www.TunasIlmu.com

Catatan Kaki:
[1] Baca: Al-Qubûriyyah, Nasy’atuhâ, Âtsâruhâ, Mauqif al-‘Ulamâ’ minhâ – al-Yaman Namûdzajan, karya Ahmad bin Hasan al-Mu’allim (hal. 63).
[2] Periksa: At-Targhîb wa at-Tarhîb (III/1286).
[3] Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl (I/102 no. 63).
[4] Baca: Al-Mustadrak (I/709 no. 1421).
[5] Cermati: Irwâ’ al-Ghalîl (III/211 no. 760). Dalam beberapa kitab yang lain, beliau menyatakan hadits ini hasan.
[6] Lihat: Shahîh Ibn Hibbân (VII/437 no. 3167).
[7] Baca: Irwâ’ al-Ghalîl (III/213 no. 763).
[8] Sebagaimana dalam Mishbâh az-Zujâjah di hasyiyah Sunan Ibn Majah (II/152).
[9] Melalui jalan Abu Dawud. Periksa: At-Talkhîsh al-Habîr (III/1241 no. 964).
[10] Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[11] Lihat: Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 195).
[12] Al-Umm (I/463).
[13] Shahih Ibn Hibban (VII/434 no. 3163).
[14] Al-Mustadrak (no. 1369).
[15] Lihat: Shahîh Sunan an-Nasâ’i (II/65 no. 2026).
[16] Sekedar contoh, untuk Ulama Mazhab Hanafi, silahkan baca: Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kâsâny (II/797) dan Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (II/236). Ulama Mazhab Maliki, silahkan periksa: Ikmâl al-Mu’lim karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/540) dan Tafsîr al-Qurthuby (XIII/242-243). Ulama Mazhab Syafi’i, silahkan telaah: Al-Umm karya Imam Syafi’i (I/463), al-Majmû’ karya an-Nawawy (V/289) dan Faidh al-Qadîr karya al-Munawy (V/274). Ulama Mazhab Hambali, silahkan lihat: al-Mughny karya Ibn Qudamah (III/441), Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488) dan Ighâtsah al-Lahfân karya Ibn al-Qayyim (I/350).

Jika Sudah Terjebak Macet di Akhirat

Terjebak macet, siapa yang mau? Jenuh, gerah, bosan, pengap dan bising, itu sebagian alasannya. Terlebih bila berada di dalam sebuah kendaraan yang tidak layak pakai dan dalam waktu yang lama pula. Pendek kata, “macet” telah menjadi suatu momok yang menakutkan. Segala cara dilakukan, baik oleh pribadi maupun institusi, untuk menghindari atau mengurai kemacetan. Mencari jalur alternatif, menentukan waktu yang tepat untuk bepergian, memilih kendaraan yang nyaman dan full fasilitas guna membunuh kejenuhan bilamana harus terjebak kemacetan, dan sekian banyak usaha lainnya.

Tapi pernahkah kita berpikir, bahwa kemacetan itu bukan hanya terjadi di dunia? Ada kemacetan lain yang jauh lebih mengerikan, yakni di akhirat. Lalu apa pula yang sudah kita persiapkan agar tidak terjebak di dalam kemacetan tersebut?

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ”

 “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia manfaatkan, tentang ilmunya apa yang sudah diamalkan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan, serta tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan”. HR. Tirmidzy dari Abu Barzah al-Aslamy radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan sahih oleh Tirmidzy.

Empat jenis pertanggungjawaban di atas inilah yang akan merintangi jalan seorang hamba di akhirat. Umur, ilmu, harta dan tubuh.

 Umur yang Allah berikan kepada kita di dunia ini, lebih sering kita isi dengan sesuatu yang diridhai-Nya, atau justru sebaliknya?
 Ilmu yang kita ketahui, seberapa persen yang sudah kita amalkan?
 Harta yang kita punyai, didapatkan dengan cara seperti apa? Lalu digunakan untuk apa? Pertanyaan dobel inilah yang akan diajukan pada kita kelak, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas harta yang Allah rizkikan pada kita.
 Tubuh yang kita miliki, lebih banyak kita pergunakan untuk apa? Untuk menjalankan ketaatan kepada Allah kah? Atau untuk berbuat maksiat kepada-Nya?

Ketika seluruh karunia di atas bisa kita pertanggungjawabkan dengan baik, saat itulah perjalanan kita berikutnya di alam akhirat akan lancar. Namun, bila justru yang terjadi adalah sebaliknya, maka bersiaplah untuk terjebak macet di akhirat! Kedua kaki ini akan terpancang kaku! Na’udzubillah min dzalik…

Berhasil atau tidaknya kita melewati rintangan ini, tergantung taufik dari Allah ta’ala. Juga sejauh mana persiapan kita di dunia ini untuk menghadapi hari yang maha dahsyat. Selamat bersiap-siap menghadapi hari itu!
 
Penulis: Abdullah Zain, MA
Sumber: www.TunasIlmu.com

Ketika Ulama Syafi'iyah Bicara Seputar Keberadaan Allah

Sesungguhnya akidah bahwa Allah di atas ‘Arsy adalah akidah yang hak (benar). Dasarnya berupa dalil-dalil Alquran, Hadis, ijmak ulama, akal, dan fitrah sangat banyak dan sangatlah gamblang. Cukuplah bagi kita merenungi ucapan berikut:

قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ أَلْفُ دَلِيْلٍ أَوْ أَزْيَدُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ

“Sebagian tokoh senior mazhab al-Syafi‘i mengatakan, ‘Dalam Alquran terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hamba-Nya.’”[1]

Semoga Allah merahmati al-Imam Ibn Abil-‘Izz al-Hanafi yang telah mengatakan—setelah menyebutkan 18 segi dalil—, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil. Oleh karena itu, para penentang masalah ini hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Akan tetapi, sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.”[2]

Sesungguhnya akidah ini merupakan syiar Ahlusunah wal Jamaah sejak dahulu hingga sekarang. Ucapan-ucapan para ulama salaf tentang hal ini banyak sekali, tak bisa hitung jumlahnya.[3]

Namun, pada kesempatan kali ini, kami akan memfokuskan pada ulama-ulama mazhab al-Syafi‘iyyah seperti al-Imam al-Syafi‘i, al-Muzani, al-Baihaqi, al-Sabuni, al-Bagawi, Abu al-Hasan al-Asy‘ari, dan sebagainya dari para tokoh mazhab al-Syafi‘iyyah, karena kami melihat suatu keajaiban pada zaman sekarang, di mana banyak orang-orang yang menisbahkan diri kepada mazhab al-Syafi‘i sekarang justru menganut paham “Allah di mana-mana” bahkan menganggap sesat orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya.

Aduhai, apalah artinya Anda menisbahkan diri kepada para ulama tersebut kalau memang kenyataannya Anda tidak mengikuti akidah mereka?! Sungguh benar ucapan penyair:

وَكُلٌّ يَدَّعِيْ وَصْلًا بِلَيْلَى             وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا

Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila

Tetapi Laila tidak mengakuinya[4]

Berikut ini beberapa ucapan para tokoh ulama al-Syafi‘iyyah, yang secara tegas mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.[5] Semoga bisa dijadikan renungan bagi kita semuanya:

1.    Al-Imam al-Syafi‘i (150–204 H)
Al-Imam al-Syafi‘i meyakini ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya. Hal ini ditegaskan oleh para ulama al-Syafi‘iyyah sendiri. Akidah al-Imam al-Syafi‘i dalam masalah ini juga diaminkan oleh para tokoh mazhab al-Syafi‘i yang paling tahu tentang mazhab al-Syafi‘i. Al-Imam al-Baihaqi—salah seorang ulama pembela mazhab al-Syafi‘i—berkata setelah membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini, “Asar-asar salaf tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah mazhab dan keyakinan al-Imam al-Syafi‘i.”[6]

Demikian juga ditegaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar—salah seorang ulama al-Syafi‘iyyah—, beliau berkata, “Dan al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ahmad ibn Abil-Hawari … dan dari jalan Abu Bakr al-Daba’i ia berkata, ‘Mazhab Ahlusunah terhadap firman Allah “Dan ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy…” adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan asar-asar dari salaf tentang hal ini banyak sekali. Dan ini adalah jalan al-Imam al-Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal.’”[7]

Al-Imam al-Syafi‘i berdalil dengan hadis Mu‘awiyah ibn Hakam Radhiallahu ‘Anhu dalam beberapa kitabnya.[8]

وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n (أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).

Saya lebih suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam[9] berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, ‘Di mana Allah?’ Jawab budak tersebut, ‘Di atas langit.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah.’”[10]

Al-Imam al-Syafi‘i membawakan hadis dalam kitab-kitabnya tanpa mengkritik isi kandungannya. Maka hal itu menunjukkan bahwa beliau berhujah dengan hadis ini. Al-Imam al-Zahabi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dalam hadis ini terdapat dua masalah:

Pertama: Disyariatkannya pertanyaan seorang muslim ‘di mana Allah’[11]

Kedua: Jawaban orang yang ditanya ‘di atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[12]

Al-Imam al-Syafi‘i Rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan:

الْقَوْلُ فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.

“Pendapat dalam sunah (akidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadis yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[13]

Riwayat dari al-Imam al-Syafi‘i ini sangat tegas menyatakan akan Allah berada di atas langit. Asar ini ternyata juga diriwayatkan dari banyak jalur oleh para ulama. Al-Barzanji (wafat 1103 H)—salah seorang ulama mazhab al-Syafi‘iyyah—menukil ucapan al-Imam al-Syafi‘i di atas dari jalur Yunus ibn ‘Abdil-A‘la, Ibn Hisyam al-Baladi, Abu Saur, Abu Syu‘aib, Harmalah, al-Rabi‘ ibn Sulaiman, dan al-Muzanni.[14]

Demikianlah ketegasan al-Imam al-Syafi‘i. Lantas adakah yang mengambil pelajaran darinya?![15]

2.    Al-Imam al-Muzanni (175–264 H), murid senior al-Imam al-Syafi‘i.

Beliau mengatakan:

[عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ ، وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ ، أَحَاطَ عِلْمُهُ بِالأُمُوْرِ …]

“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Dia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu…”[16]

عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ ، مَوْجُوْدٌ وَلَيْسَ بِمَعْدُوْمٍ وَلَا بِمَفْقُوْدٍ

“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang.”[17]

3.    Al-Imam ‘Usman ibn Sa‘id al-Darimi (200–280 H)

Beliau berkata:

قَدِ اتَّفَقَتِ الْكَلِمَةُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، أَنَّ اللهَ بِكَمَالِهِ فَوْقَ عَرْشِهِ ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ

“Telah bersepakat kalimat kaum muslimin dan kafirin bahwa Allah di atas langit.”[18]

4.    Al-Imam Ibn Khuzaimah (223–311 H)

Beliau berkata:

فَتِلْكَ الْأَخْبَارُ كُلُّهَا دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ الْخَالِقَ الْبَارِيَ فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ ، لَا عَلَى مَا زَعَمَتِ الٍْمُعَطِّلَةُ : أَنَّ مَعْبُوْدَهُمْ هُوَ مَعَهُمْ فِي مَنَازِلِهِمْ.

“Maka hadis-hadis ini seluruhnya menunjukkan bahwa Pencipta berada di atas langit yang tujuh. Hal ini tidak sebagaimana yang dipersangkakan oleh al-Mu‘attilah (pala penafi/penolak sifat-sifat Allah, Pen.) bahwasanya sembahan mereka bersama mereka di rumah-rumah mereka.”[19]

5.    Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari (260–324 H)
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari dalam kitabnya al-Ib?nah hlm. 405–423 telah memaparkan secara panjang lebar dalil-dalil tentang istiwa dan ketinggian Allah di atas langit-Nya serta membantah orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini. Di antara ucapannya:

وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Dan bahwasanya Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya, ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’”[20]

Setelah beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas ‘Arsy, beliau berucap:

وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ، فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ ، وَهَذَا خِلَافُ الدِّيْنِ ، تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ

“Dan kaum Mu‘tazilah, Haruriyyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah, dan WC. Paham ini menyelisihi agama. Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka.”[21]

Beliau bahkan menukil ijmak para ulama salaf yang bersepakat akan akidah ini. Beliau mengatakan:

وَأنَهَّ تَعَالىَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ دُوْنَ أَرْضِهِ

“Dan mereka (para ulama Ahlusunah) bersepakat … bahwasanya Allah berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya.”[22]

Demikian ucapan-ucapan emas al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Lantas, adakah yang mau menggunakan akalnya?![23]

5.    Al-Khattabi (319–388 H)

Beliau mengatakan dalam kitabnya Syi‘ar al-D?n[24]—setelah membawakan beberapa ayat:

فَدَلَّ مَا تَلَوْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الآيِ عَلَى أَنَّ اللهَ سبحانه فِي السَّمَاءِ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ، وَلَوْ كَانَ بِكُلِّ مَكَانٍ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا التَّخْصِيْصِ مَعْنًى وَلَا فِيْهِ فَائِدَة ، وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُسْلِمِيْنَ خَاصَّتِهِمْ وَعَامَّتِهِمْ بِأَنْ يَدْعُوَ رَبَّهُمْ عِنْدَ الْاِبْتِهَالِ وَالرَّغْبَةِ إِلَيْهِ وَيَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ وَذَلِكَ لِاسْتِفَاضَةِ الْعِلْمِ عِنْدَهُمْ بِأَنَّ رَبَّهُمْ الْمَدْعُوَّ فِي السَّمَاءِ سُبْحَانَهُ.

“Ayat-ayat yang kami bacakan ini menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy. Seandainya Allah berada di setiap tempat maka pengkhususan ini tidak ada faedah dan tidak ada maknanya. Dan kebiasaan kaum muslimin baik yang awam maupun yang terpelajar jika berdoa memohon kepada Allah maka mereka mengangkat tangan mereka ke langit. Hal itu karena telah masyhur bagi mereka bahwa Rabb yang mereka berdoa kepada-Nya berada di atas langit.”[25]

6.    Abu al-Qasim Hibatullah ibn al-Hasan al-Lalika’i Rahimahullahu Ta’ala (wafat 418 H)


Beliau mengatakan:

سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) وَأَنََّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ : ( إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ). وقال: ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ ). وَقَالَ تعالى: ( وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً ). فَدَلَّتْ هَذِهِ الآيَةُ أَنَّهُ تَعاَلىَ فِِي السَّمَاءِ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ بِكُلِّ مَكَانٍ مِنْ أَرْضِهِ وَسَمَائِهِ

“Penjelasan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya Ta‘?la: ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’ (QS ??ha [20]: 5).

Dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.’ (QS F??ir [35]: 10).

Dan firman-Nya Ta‘?la: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu.’ (QS al-Mulk [67]: 16).

Dan firman-Nya Ta‘?la: ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga.’ (QS al-An‘?m [6]: 61).

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Ta‘?la berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya.”[26]

7.    Al-Imam al-Sabuni (373–449 H)

Beliau berkata:

وَيَعْتَقِدُ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ وَيَشْهَدُوْنَ أَنَّ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ مُسْتَوٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُهُ فِيْ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي سُوْرَةِ يُوْنُسٍ: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)…

“Para ahli hadis berkeyakinan dan bersaksi bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Y?nus: ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.’ (QS Y?nus [10]: 3)…”[27]

8.    Abu al-Qasim Isma‘il al-Asbahani al-Syafi‘i (wafat 535 H)

Beliau berkata:

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ أَنَّ الْعَرْشَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ، وَأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَوْقَ الْعَرْشِ

“Pasal: Penjelasan bahwa ‘Arsy di atas langit dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy.”[28]

9.    Yahya al-‘Imrani al-Syafi‘i (wafat 558 H)

Beliau berkata:

عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَالسُّنَّةِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ بِذَاتِهِ ، بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ ، عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى فَوْقَ السَّمَوَاتِ ، غَيْرُ مُمَاسٍّ لَهُ ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ باِلأَشْيَاءِ كُلِّهَا

“Di sisi ahli hadis dan sunah, bahwasanya Allah Sub??nahu dengan Zat-Nya terpisah dari makhluk-Nya, beristiwa di atas ‘Arsy-Nya di atas langit, tanpa menyentuhnya, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.”[29]

10.  Ibn al-Salah al-Syafi‘i (wafat 643 H)


Beliau telah mengomentari kasidah tentang sunah yang disandarkan kepada Abu al-Hasan al-Karkhi (wafat 532 H). Kasidah tersebut di antaranya:

عَقِيْدَةُ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ فَقَدْ سَمَتْ *** بِأَرْبَابِ دِيْنِ اللهِ أَسْنَى الْمَرَاتِبِ

عَقَائِدُهُمْ أَنَّ الإِلَهَ بِذَاتِهِ *** عَلَى عَرْشِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِالْغَوَائِبِ

Akidah ashabul-hadis telah membawa para pemeluk agama ke derajat yang tinggi

Akidah mereka bahwasanya Allah dengan Zat-Nya di atas ‘Arsy-Nya, disertai ilmu-Nya tentang perkara-perkara gaib

Ibn al-Salah mengomentari kasidah tersebut dengan berkata:

هَذِهِ عَقِيْدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ

“Ini adalah akidah Ahlusunah dan a???bul-?ad??.”[30]

11.  Al-Imam al-Nawawi (631–676 H)

Al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antara buktinya[31]:

1)  Beliau mengatakan dalam kitabnya Juz’ f?hi ?ikr I‘tiq?d Salaf fi al-Hurus wa al-A?w?t[32]:

وَنُؤْمِنُ بِأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ فِي كِتَابِهِ وَلَا نَقُوْلُ هُوَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ بَلْ هُوَ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ

“Kami beriman bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Allah di setiap tempat, bahkan Allah di atas langit dan ilmu-Nya di setiap tempat.”

Lalu beliau membawakan QS al-Mulk [67]: 16, F??ir [35]: 10, hadis budak wanita, lalu beliau mengatakan, “Demikian juga dalil-dalil lainnya dalam Alquran dan hadis banyak sekali, kami mengimaninya dan tidak menolaknya sedikit pun.”

2)  Beliau menulis dan menyalin kitab al-Ib?nah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari.[33] Dan sebagaimana sudah kami sebutkan di muka bahwa al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari menegaskan dalam kitabnya tersebut tentang ketinggian Allah.

3)  Dalam kitab berjudul ?abaq?t Fuqah?’ al-Sy?fi‘iyyah karya Ibn al-Salah yang diringkas dan ditertibkan oleh al-Imam al-Nawawi. Dalam biografi al-Khattabi, beliau sangat menghormati dan mengagungkan al-Khattabi. Salah satunya beliau mengatakan tentang al-Khattabi:

وَصَرَّحَ بِأَنَّهُ فِي السَّمَاءِ

“Dan beliau (al-Khattabi) menegaskan bahwa Allah di atas langit.”[34]

Perhatikanlah, al-Imam al-Nawawi menukil ucapan di atas dengan menyetujuinya. Seandainya beliau tidak menerima ucapan ini, niscaya beliau akan membuangnya atau mengkritiknya atau membantahnya!!

4)  Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitabnya Rau?ah al-??lib?n 10/85—salah satu kitab fikih masyhur dalam mazhab al-Syafi‘i:

لَوْ قَالَ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ الْمَلِكُ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ أَوْ إِلَّا مَلِكُ السَّمَاءِ كَانَ مُؤْمِنًا قَالَ اللهُ تَعَالَى ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ )

“Seandainya dia (orang kafir) mengatakan ‘tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, Raja yang di atas langit atau kecuali Raja langit’ maka dia beriman. Allah berfirman: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.’ (QS al-Mulk [67]: 16).”

Inilah empat bukti bahwa al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas langit.

12.  Al-Imam al-Zahabi (673–748 H)

Beliau berkata:

مَقَالَةُ السَّلَفِ وَأَئِمَّةِ السُّنَّةِ بَلِ وَالصَّحَابَةِ وَاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ أَنَّ الله عزوجل فِي السَّمَاءِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ وَأَنَّ اللهَ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ وَأَنَّه يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا .وَحُجَّتُهُمْ عَلَى ذَلِكَ النُّصُوْصُ وَالآثَارُ.

وَمَقَالَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتعَالَى فِيْ جَمِيْعِ الأَمْكِنَةِ تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ بَلْ هُوَ مَعَنَا أَيْنَمَا كُنَّا بِعِلْمِهِ

 وَمَقاَلُ مُتَأَخِّرِيْ الْمُتَكَلِّمِيْنَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ فِيْ السَّمَاءِ وَلَا عَلَى الْعَرْشِ وَلَا عَلَى السَّمَوَاتِ وَلَا فِيْ الأَرْضِ وَلَا دَاخِلَ الْعَالِمِ وَلَا خَارِجَ الْعَالَمِ وَلَا هُوَ بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ وَلَا مُتَّصِلٍ بِهِمْ.

“Ucapan para salaf dan imam-imam Sunah bahkan para sahabat, Allah, Nabi, dan seluruh kaum mukmin bahwasanya Allah di atas langit dan di atas ‘Arsy, dan bahwa Allah turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadis-hadis dan asar-asar yang banyak.

Adapun perkataan Jahmiyyah (bahwa) ‘Allah Tab?raka wa Ta‘?la ada di seluruh tempat’, Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita berada dengan ilmu-Nya. Dan perkataan ahli kalam kontemporer (bahwa) ‘Allah Ta‘?la tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya’!”[35]

Demikianlah ketegasan para ulama mazhab al-Syafi‘i. Dan ini pun baru sebagian saja, belum seluruhnya.

أُوْلَئِكَ آبَائِيْ فَجِئْنِيْ بِمِثْلِهِمْ           إِذَا جَمَعَتْنَا يَا جَرِيْرُ الْمَجَامِعُ

Merekalah orang tuaku, maka datangkanlah padaku semisal mereka

Apabila perkumpulan mengumpulkan kita, wahai Jarir.[36]

Lantas, siapakah panutan orang-orang yang berpaham “Allah di mana-mana”?! Sesungguhnya mereka telah mengikuti kaum Jahmiyyah, Mu‘tazilah, dan ahli kalam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada semuanya ke jalan yang benar. ?m?n.



Disusun oleh: Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Artikel: AbiUbaidah.com


Catatan Kaki:
[1]     Majm?‘ Fat?wa 1/121, Bay?n Talb?s Jahmiyyah 1/155

[2]     Syar? ‘Aq?dah al-?a?awiyyah hlm. 386

[3]     Sebagaimana dipaparkan oleh al-Imam al-Zahabi dalam al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘A??m dan Ibn al-Qayyim dalam Ijtim?‘ Juy?sy al-Isl?miyyah. Lihat pula tulisan bagus “101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Allah di atas Arsy” di <http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/12/101-perkataan-ulama-salaf-tentang-allah-di-atas-arsy-seri-allah-di-atas-arsy/>.

[4]     Al-Ris?lah al-Tabukiyyah hlm. 27 karya Ibn al-Qayyim

        Faedah: Syair ini termasuk di antara syair-syair yang tidak diketahui siapa pengucapnya.

[5]     Penulis mengambil manfaat sebagian nukilan ucapan ulama salaf ini dari artikel “Aqidah Salafi Shalih fil Uluw wal Istiwa” dari <http://as-salaf.com> dan <http://www.firanda.com>.

[6]     Al-Asm?’ wa al-?if?t 1/517

[7]     Fat? al-B?ri 13/407

[8]     Seperti dalam kitabnya al-Umm 5/280 dan al-Ris?lah: 7–8.

[9]     Dalam sanad al-Imam Malik tertulis “‘Umar ibn Hakam” sebagai ganti dari “Mu‘awiyah ibn Hakam”. Para ulama menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan al-Imam Malik. Al-Imam al-Syafi‘i berkata—setelah meriwayatkan hadis ini dari al-Imam Malik—, “Yang benar adalah Mu‘awiyah ibn Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik, dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya.” (al-Ris?lah hlm. 7–8)

[10]   Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Juz’ al-Qir?’ah hlm. 70, Muslim dalam ?a???-nya: 537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwa??a’ 2/772, al-Syafi‘i dalam al-Ris?lah no. 242, dll. Lihat takhrij secara luas tentang hadis ini, komentar ulama ahli hadis tentangnya, dan pembelaan ulama terhadapnya dalam buku kami Membela Hadits Nabi. Perlu saya tambahkan di sini, bahwa di antara ahli bidah yang menghujat hadis ini adalah Muh. Idrus Ramli yang tanpa malu mengatakan bahwa hadis ini adalah mudtarib (simpang siur), lemah, dan tidak bisa dijadikan hujah sebagaimana dalam <http://www.idrusramli.com/2013>. Sungguh—jika dia menyadarinya—ini penghujatan terhadap hadis dan para imam ahli hadis!!

[11]   Al-Imam ‘Abdul-Gani al-Maqdisi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya ‘di mana Allah’ setelah ketegasan Rasulullah n\ yang bertanya ‘di mana Allah’?!” (al-Iqti??d fi al-I‘tiq?d hlm. 89 dan Tadzkirah al-Mu‘tasi hlm. 89–90 syarah Dr. ‘Abdurrazzaq al-Badr)

[12]   Al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘A??m (hlm. 81—Mukhta?ar al-Albani—)

[13]   Adab al-Sy?fi‘i wa Man?qibuhu hlm. 93 karya Ibn Abi Hatim, I‘tiq?d al-Im?m al-Sy?fi‘i no. 4 karya al-Hakari. Dan dinukil oleh Ibn Qudamah dalam I?b?t ?ifat al-‘Uluww hlm. 123, Ibn al-Qayyim dalam Ijtim?‘ Juy?sy al-Isl?miyyah hlm. 164, al-Zahabi sebagaimana dalam Mukhta?ar al-‘Uluww hlm. 176, dan al-Suyuti dalam al-Amr bi al-Ittib?‘ hlm. 313.

[14]   ‘Aq?dah al-Im?m N??ir al-?ad?? wa al-Sunnah Mu?ammad ibn Idr?s al-Sy?fi‘i hlm. 89–91

[15]   Semoga Allah merahmati al-Imam Abu Mu?affar al-Sam‘ani ketika mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang untuk membela mazhab al-Syafi‘i dalam masalah fikih tetapi tidak mengikutinya dalam masalah usul (pokok-pokok akidah).” (al-Inti?ar li A???b al-?ad?? hlm. 9)

[16]   Syar? al-Sunnah li al-Muzanni hlm. 79 no. 1 (tahqiq: Jamal ‘Azzun)

[17]   Ibid. hlm. 82

[18]   Naq? Abi Sa‘?d ‘ala al-Mirisi al-Jahmi al-‘An?d 1/228

[19]   Kit?b al-Tau??d 1/273

[20]   Al-Ib?nah fi U??l Diy?nah hlm. 17

[21]   Ibid. hlm. 26

[22]   Ris?lah ila Ahl al-?agr karya Abu al-Hasan al-Asy‘ari hlm. 231–234 (tahqiq: ‘Abdullah ibn Syakir al-Junaidi)

[23]   Semoga Allah merahmati al-Hafiz Abu al-‘Abbas al-Tarqi tatkala berkata, “Saya melihat kaum Jahmiyyah yang meniadakan ‘Arsy dan menakwilkan istiwa, mereka menisbahkan diri kepada Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Ini bukanlah awal kebatilan dan kedustaan yang mereka lakukan.” (Ris?lah fi ?abb ‘an Abil-?asan al-Asy‘ari karya Ibn Dirbas hlm. 111–112)

[24]   Ibn Salah dalam ?abaq?t Fuqah?’ al-Sy?fi‘iyyah ketika menyebutkan biografi al-Khattabi menyebutkan bahwa salah satu karya tulisnya adalah kitab Syi‘ar D?n. Beliau menempuh penjelasan berdasarkan dalil tanpa mengikuti cara ahli kalam, sampai beliau mengatakan, “Dan beliau menegaskan dalam kitab tersebut bahwa Allah di atas langit.” Demikianlah al-Imam Ibn Salah menukil dan tidak mengkritiknya sebagai tanda persetujuannya.

[25]   Dinukil Ibn al-Qayyim dalam Ta???b al-Sunan 13/35–36 dan sebagiannya dinukil oleh al-Qurtubi dalam al-Asna fi Syar? Asm?’ill?hi al-Husna hlm. 170.

[26]   Syar? U??l al-I‘tiq?d karya al-Lalika’i hlm. 387–388

[27]   ‘Aq?dah al-Salaf A???b al- ?ad?? hlm. 176

[28]   Al-?ujjah bi Bay?n al-Ma?ajjah 2/83

[29]   Al-Inti??r fi al-Radd ‘ala al-Qadariyyah al-Asyr?r 2/607

[30]   Kit?b al-‘Arsy karya al-Zahabi 2/342

[31]   Dinukil dari al-Dal?’il al-Wafiyyah fi Ta?q?q ‘Aq?dah al-Im?m al-Nawawi al-Salafiyyah Am Khalafiyyah hlm. 42–47 karya Syaikhuna Masyhur ibn Hasan Salman.

[32]   Demi inshaf dan keadilan, kami katakan bahwa kitab ini masih diragukan oleh sebagian ulama dan peneliti akan keabsahannya sebagai buah karya al-Imam al-Nawawi. (Yusuf Abu Ubaidah)

[33]   Lihat Majm?‘ Fat?wa Ibn Taimiyyah 3/224, dan al-‘Uluww 2/1248 karya al-Zahabi.

[34]   Ta???b ?abaq?t Fuqah?’ al-Sy?fi‘iyyah 1/470

[35]   Al-‘Uluww hlm. 143

[36]   Diw?n Farazdaq 1/418, dan al-???? fi ‘Ul?m Balagah karya al-Khatib al-Qazwini 1/46